Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Jokowi Mengakui Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Simak Awal Mula Penembak Misterius yang Sudah Cabut 532 Nyawa, Nama Jenderal LB Moerdani Jadi Sorotan

Angriawan Cahyo Pawenang - Kamis, 12 Januari 2023 | 15:13
Ilustrasi penembak misterius
Pixabay

Ilustrasi penembak misterius

Gridhot.ID - Presiden Jokowi baru saja membuat pernyataan yang bersejarah.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Presiden Jokowi menyatakan dengan tegas mengakui tentang adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa lalu.

Presiden Jokowi menyebutkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari PPHAM pelanggaran HAM berat yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022," ujar Jokowi.

"Dengan pikiran jernih dan hati yang tulis sebagai Kepala Negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu," kata dia.

"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban Oleh karena itu yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," kata Jokowi.

12 peristiwa yang disebut Jokowi dimulai sejak peristiwa 1965-1966 hingga Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Dari sederet peristiwa itu, salah satunya adalah Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985.

Dikutip Gridhot dari Kompas TV, penembakan misterius atau Petrus merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia, karena telah mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum.

Pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, dan lain-lain.

Dikutip dari Kompas.com, pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 di antaranya tewas karena luka tembak, diduga korban penembakan misterius.

Baca Juga: Lowongan Kerja Besar-besaran Lulusan D3 dan S1, BAZNAS Buka Kesempatan di Banyak Posisi, Simak Syarat dan Cara Mendaftarnya

Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas, dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.

Bagaimana peristiwa ini bermula?

Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia kala itu, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani atau akrab dipanggil Benny Moerdani, mulanya menyalahkan kasus pembunuhan ini sebagai perkelahian antargeng.

Dia tak mengakui bahwa ada tangan tentara dan polisi dalam aksi menumpas para preman jalanan itu.

"Sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi penjahat yang ditangkap," kata Benny, seperti dikutip dari buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap.

Namun, belakangan, diakui ada campur tangan pemerintah di balik Petrus. Presiden kedua Soeharto dalam autobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menyatakan Petrus ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada penjahat.

Benny Moerdani
Repro Majalah Angkasa

Benny Moerdani

"Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

Namun karena mendapat tekanan internasional, pada 1985, Petrus diakhiri.

Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM yang dirilis pada 2012 silam, para pelaku Petrus terdiri dari aparat militer dan sipil.

Aparat militer seperti Koramil, Kodim, Kodam/Laksusda dan Garnizun. Mereka adalah pelaku yang melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib).

Lembaga tersebut, menurut Ketua Tim Penyelidikan Yosep Stanley Adi Prasetyo, berada di bawah komando dan pengendalian presiden.

Baca Juga: Kandungan Lemaknya Tinggi hingga Sulit Dicerna, Daging Merah Sebaiknya Jangan Dikomsumsi Pengidap Asam Lambung

Menurut Stanley, korban penembakan misterius ini terdiri dari dua kelompok. Pertama, mereka yang dikategorikan sebagai preman atau mantan residivis. Kedua, adalah orang yang salah tangkap, bahkan petani yang menolak digusur tanahnya oleh pemerintah, turut pula menjadi korban Petrus.

Komnas HAM menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat ini harus disidik oleh Kejaksaan Agung. Tetapi dokumen dan rekomendasi Komnas HAM berlalu begitu saja. Jadi siapa yang paling bertanggung jawab? "Ya, Benny Moerdani," kata Stanley, Wakil Ketua Komnas HAM saat itu.

Tapi, sang jenderal bertampang dingin kelahiran 2 Oktober 1932, di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, itu sudah meninggal pada 29 Agustus 2004 silam, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. Jejak pelanggarannya yang banyak disebut di masa itu, terkubur bersama jasadnya.

(*)

Source :Kompas.comKompas TV

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x