Aksi penyanderaan ini seakan menjadi senjata makan tuan bila dikaitkan dengan salah satu tujuan politiknya dalam menarik dukungan lebih dari komunitas internasional. Mengapa demikian?
Dukungan bagi gerakan-gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) OPM ini sebenarnya tidak hanya berasal dari berbagai pihak di internal masyarakat.
Dukungan juga datang dari dunia internasional atas dasar perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat Papua.
Setidaknya, saat ini terdapat sembilan negara yang diketahui mendukung gerakan OPM, yaitu Selandia Baru, Inggris, Australia, Vanuatu, Tuvalu, Nauru, Kepulauan Solomon, Pulau Marshall, dan Republik Palau.
Dua pekan sejak Kapten Philip disandera oleh OPM, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengonfirmasi bahwa pihak pemerintah Selandia Baru telah mengirimkan perwakilan ke Timika, Papua, untuk memantau perkembangan kondisi pilot Susi Air tersebut.
Perwakilan tersebut terdiri atas tiga diplomat Selandia Baru, yaitu wakil Kepala Misi Diplomatik Selandia Baru untuk ASEAN Brendan Andrew Stanbury, serta Patrick John Fitzgibbon dan Alexander Mcsporran dari Kedutaan Besar Selandia Baru.
Selain itu, mereka juga didampingi staf Kementerian Luar Negeri Dionisius Elvan Swasono dan Nicolas Hendrik Theodorus.
Penyanderaan yang dilakukan terhadap pilot berkebangsaan Selandia Baru ini justru berpotensi menjadi backfire bagi kelompok OPM itu sendiri.
Berkembangnya kasus penyanderaan ini menjadi urusan diplomatik berpotensi menghasilkan preseden dan narasi yang buruk bagi OPM di mata negara pendukungnya, khususnya Selandia Baru.
Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi Indonesia dalam membuka mata dunia terkait tindakan OPM yang justru mengancam keselamatan masyarakat, tak peduli apapun latar belakangnya.
Selain itu, Presiden Sementara Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP), Benny Wenda, justru menjadi sorotan setelah pernyataannya yang tidak mendukung gerakan penyanderaan yang dilakukan OPM terhadap Pilot Susi Air tersebut.