Gridhot.ID - Kopassus merupakan salah satu pasukan terbaik yang dimiliki TNI AD.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Kopassus merupakan Korps Baret Merah yang dibentuk sejak tahun 1950.
Para prajurit Kopassus disebut memiliki kemampuan di luar logika manusia.
Bahkan Kopassus disebut-sebut sebagai salah satu pasukan terkuat di dunia.
Pengalaman tempur dan kekuatan latihan mereka sudah berada di luar nalar tubuh manusia.
Meski memiliki kekuatan luar biasa, Kopassus nyatanaya juga pernah mengalami ketakutan.
Hal ini terjadi ketika prajurit Kopassus diberikan sebuah misi setelah ditemukannya jasad Rockfeller yang hanya berupa kaki masih terawat sepatu.
Dikutip Gridhot dari Intisari Online, berdasarkan sepatu yang ditemukan, anak laki-laki tersebut dikenali sebagai jasad dari mendiang Rockfeller.
Kabar kematian Rockfeller dengan cara yang sangat tragis itu pun menjadi perhatian dunia internasional termasuk rumor bahwa Rockfeller telah dimakan oleh suku terasing yang tinggal di hutan belantara Papua Nugini.
Rumor tentang keberadaan suku pemakan manusia itu tak hanya menonton di Papua Nugini namun juga menyebar ke kawasan pedalaman Irian Barat (Papua).
Pada tahun 1960-an, daerah Papua tersebut memang masih merupakan hutan lebat yang belum terjamah.
Baca Juga: 3 Weton Ini Akan Memberontak Jika Kerja di Bawah Orang Lain, Lebih Cocok Jadi Bos
Pada 5 Mei 1969 meski rumor tentang keberadaan suku pemakan manusia di pedalaman Papua masih santer, sekitar 7 anggota pasukan baret merah (RPKAD / Kopassus), 5 anggota Kodam XVII Cenderawasih Papua dan tiga warga asing yang juga kru televisi NBC, AS serta satu wartawan TVRI, Hendro Subroto melaksanakan ekspedisi ke Lembah X yang berlokasi di lereng utara gunung Jayawijaya.
Lokasi ekspedisi disebut sebagai Lembah X dan berada di lereng utara Gunung Jayawijaya yang berpemandangan elok sekaligus merupakan tempat yang belum pernah dijamah oleh manusia dari luar.
Suku setempat masih dikenal sebagai suku yang sangat terasing dan dimungkinkan merupakan suku yang masih dapat dinikmati manusia seperti oleh Rockfeller.
Dengan risiko yang tinggi pengendali ekspedisi Pangdam XVII / Cenderawasih Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo berpesan agar tim siap menghadapi kemungkinan.
Dalam menjalankan ekspedisi semua anggota militer seragam militer lengkap, senapan serbu AK-47 dan pistol, parang, tali-temali dan lainnya.
Sebelum tim ekspedisi Lembah X diterjunkan melalui udara Lettu Sintong terlebih dahulu melakukan orientasi medan melalui udara dengan cara menumpang pesawat misionaris jenis Cesna.
Lalu sesuai rencana tim akan diterjunkan pada lokasi padang ilalang yang diduga berhubungan dengan perkampungan yang masih dihuni oleh suku terasing pemakan manusia.
Pada 2 Oktober 1969, semua tim bersama keperluan logistik diterjunkan sesuai rencana meski dengan perasaan tak karuan.
Pasalnya, mereka harus mendarat di daerah sangat terpencil yang konon didiami suku terasing yang masih suka memakan manusia.
Dengan perhitungan seperti itu maka aksi penerjunan termasuk misi nekat.
Apalagi meski bersenjata lengkap para personel RPKAD dan Kodam Cenderawasih dilarang melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat genting.
Itu pun merupakan tembakan yang dilepaskan ke atas untuk tujuan menakut-nakuti.
Semua tim akhirnya bisa melakukan penerjunan dengan selamat.
Ia langsung dikepung oleh warga yang hanya melihat koteka sambil mengacungkan tombak, panah, dan kapak batu.
Sadar sedang menghadapi bahaya dan masih terbayang oleh suku ganas pemakan manusia, secara reflek Sintong memindahkan senapan AK-47 di bahu ke posisi di depan dada serta mengokangnya.
Tapi terkejut ketika melihat senapan AK-47-nya ternyata tanpa magasin (kotak peluru) karena terjatuh saat terjun.
Dengan kondisi senapan AK-47-nya tanpa peluru yang jelas sama sekali tidak berguna jika harus menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.
Tiba-tiba Sintong melihat jika magasin tempat peluru yang jatuh berada di antara warga suku.
Bahkan barang berbahaya itu sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan pemuda itu mengambil magasin dan memberikannya kepada Sintong.
Sebuah pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memegangi dan menggerayanginya untuk memastikan bahwa 'manusia burung' yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Baca Juga: 3 Weton Tak Mempan Guna-guna, Sabtu Kliwon Mampu Kembalikan Santet pada Pengirimnya.
Meski diliputi oleh perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan 'dimakan' semua tim ekspedisi ternyata secara bersahabat.
Bahkan akhirnya mereka bisa diatur secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa diimplementasikan, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Warga lembah X juga masih menjalankan tunggang langgang setiap ada pesawat yang lewat atau melaksanakan dropping logistik karena ada dugaan sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Semua warga suku yang tidak takut akan air dan tidak pernah mandi.
Mereka juga menyukai tebu liar sebagai camilan.
Kebiasaan makan secara tidak sengaja sekaligus berfungsi sebagai sikat gigi sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.
Meski sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.
Bagi anggota RPKAD dan Kodam Cenderawasih ekspedisi Lembah X terbilang sukses karena menginspirasi ekspedisi berikutnya yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Nusantara Jaya.
Tapi bagi kru NBC, ekspedisi itu gagal total karena telah kehilangan semua rekaman yang bernilai jutaan dollar.
(*)