GridHot.ID - Sepanjang sejarah, wanita telah berusaha membuat diri mereka terlihat cantik, meski dengan cara menyakitkan.
Seperti contohnya wanita dari beberapa suku di Sudan, Eritrea, dan Ethiopia.
Wanita dari suku-suku tersebut meletakkan piring di bibir mereka. Mereka percaya bahwa standar kecantikan ditentukan oleh besarnya bibir.
Piring yang dipakai tentu saja benar-benar piring pada umumnya. Biasanya terbuat dari tanah liat atau kayu, yang berukuran antara 4 hingga 25 cm.
Melansir eva.vn, kebiasaan memakai piring di bibir telah ada sejak lebih dari 8000 tahun SM dan di berbagai belahan dunia dalam berbagi bentuk.
Di Ethiopia, suku Mursi paling terkenal dengan lempengan bibir raksasanya.
Orang-orang Mursi tinggal di wilayah yang luasnya sekitar 2.000 km2 terletak di Zona Omo Selatan Negara Daerah Bangsa, Kebangsaan dan Rakyat Selatan (SNNPRS), kira-kira di antara Sungai Omo (Warr) dan Mago (Mako), dekat perbatasan dengan Sudan Selatan.
Orang Mursi merupakan salah satu suku terakhir yang masih mengenakan pakaian dan aksesoris tradisional, seperti penggunaan piring di bibir.
Tidak jelas bagaimana kebiasaan penggunaan piring di bibir bisa terjadi.
Menurut Medical Bag, salah satu teorinya adalah bahwa penggunaan piring di bibir berasal dari praktik yang sengaja dilakukan untuk membuat para gadis muda menjadi kurang menarik di mata pedagang budak. Namun teori ini kemudian ditolak.
Beberapa peneliti percaya bahwa ukuran piring bibir merupakan tanda status sosial atau kekayaan suatu suku.
Analisis lain menunjukkan bahwa semakin besar ukuran piring, semakin besar pula yang diterima pengantin di hari pernikahannya.
Mahar untuk menikahi perempuan di suku Mursi biasanya sekitar 40 ekor sapi (untuk piring bibir kecil) dan 60 ekor sapi (untuk piring bibir besar).
Pemasangan Piring di Bibir yang Menyakitkan
Ketika anak perempuan berusia 15 atau 16 tahun, bibir bawah atau bibir bawah mereka akan disayat dan diisi dengan sebatang kayu.
Ritual penyayatan bibir itu dilakukan oleh ibu atau kerabat perempuan lain.
Sampai sayatannya sembuh, yang memakan waktu sampai tiga minggu, gadis-gadis itu akan memasang piring kayu sambil meregangkan bibir.
Proses peregangan bibir akan berlanjut sampai diameter bibir sekitar 4 cm.
Pada titik ini, piring bibir yang terbuat dari tanah liat pertama dipasangkan.
Untuk beradaptasi dengan piring bibir, anak perempuan mencabut setidaknya 2 atau 4 gigi depan.
Meski menyakitkan, setiap wanita membuat piring bibirnya sendiri dan menghiasnya dengan bangga.
Proses meregangkan bibir akan terus berlanjut hingga muat piring dengan lebar sekitar 10-15 cm.
Karena memakai piring bibir membuat sulit berbicara, wanita hanya akan memakainya saat berada di dekat pria.
Saat tidur atau saat bersama anak-anak atau wanita lain, mereka akan melepas piring bibir tersebut.
Ukuran Kecantikan
Proses menyakitkan pemasanan piring bibir dianggap sebagai ukuran kecantikan perempuan Mursi. Selain itu, piring bibir menandai komitmen wanita terhadap suaminya.
Jika suami meninggal, wanita tersebut akan melepas piring bibirnya. Suku Mursi percaya kecantikan seseorang wanita akan memudar setelah suaminya meninggal.
Pada akhirnya, piring bibir merupakan penanda kecantikan sekaligus identitas dari wanita Mursi.
Tanpanya, mereka mungkin disangka anggota suku lain.
Ini juga merupakan simbol status sosial dalam suku tersebut. Selama bertahun-tahun, piring yang dimasukkan menyebabkan bibir merenggang.
Semakin besar lingkar bibir mereka, semakin tinggi pula nilai seorang wanita sebelum menikah.
Dikabarkan, bahwa dalam budaya masa kini, gadis Mursi yang berusia antara 13 sampai 18 tahun dapat mengambil keputusan apakah akan memakai piring bibir atau tidak.
Banyak remaja putri mulai memilih untuk tidak memakainya, karena prosesnya memerlukan pencabutan gigi, yang dapat menimbulkan trauma.
(*)
Source | : | Eva.vn |
Penulis | : | Siti Nur Qasanah |
Editor | : | Siti Nur Qasanah |
Komentar