Dia tercatat sejarah sebagai wanita pertama TNI yang dengan sukarela berjibaku di rimba perawan Irian untuk bergerilya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5.40 pagi hari. Angin Mamiri yang akan membawa Herlina Kasim dengan teman-temannya menerobos ke Irian Barat masih terapung-apung di tengah laut.
Kompas tak ada, yang ada malah kabut tebal. Tidak ada jalan lain untuk masuk teluk dan harus menunggu sampai kabut agak reda.
Daripada menunggu di kapal, mereka turun sebentar. Alangkah kagetnya. Yang disinggahi justru pos tentara Belanda.
Untung tidak ada penjaga. Tanpa pikir panjang, mereka seketika kembali ke perahu.
Motor dihidupkan, terus meluncur. Arah dikira-kira saja, asal sudah bisa keluar dari lubang buaya.
Fajar sudah mulai menyingsing, waktu mereka tiba di perairan musuh. Tanpa punya kompas mereka yakin sudah menuju ke arah yang benar.
Bendera Belanda dipasang, demi berhasilnya usaha mereka. Lihai, tetapi apa boleh buat.
Pulau Waigeo di mana sebagian dari Pasukan Gerilya (PG) 500 mendarat, sudah berada di depan mata. Namun di mana posnya?
Bendera merah putih biru diganti dulu dengan merah putih.
Sangat berbahaya, tetapi tidak ada jalan lain. Mereka sudah diberi pesan, di sekitar Pulau Waigeo harus menggunakan bendera Indonesia.