Connie juga mengatakan, sepengetahuannya, juga belum ada perubahan/pembaharuan pada UU no 20/2009, dimana di dalamnya dinyatakan kenaikan pangkat kehormatan hanya dapat diberikan hanya kepada prajurit dan perwira aktif.
"Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah dasar hukum apa yang digunakan Presiden dan juga segenap jajaran TNI, dari Panglima dan Kastaff AD untuk keputusan ini?" ujarnya.
Ia mengaku sejauh ini dirinya belum temukan apakah dalam beberapa hari terakhir ada semacam rapat estafet Dewan di atas Wanjakti, yang diciptakan RI1 khusus.
"Ya seperti saat pasal dalam MK hendak 'disulap' khusus bagi Gibran, sehingga 'Wanjakti' itu mengizinkan Panglima dan Kastaff untuk melanggar UU di atas. Patut dicatat, Wanjakti hanya berlaku untuk pergerakan pangkat perwira aktif," jelas Connie.
"Jadi yang kita harus pertanyakan adalah dasar dari keputusan RI1, di mana hanya beliau sendiri yang bisa menjawabnya," tandasnya.
Senada dengan Connie, Anggota Komisi I DPR RI fraksi PDIP, TB Hasanuddin mengatakan, pemberian pangkat jenderal kehormatan untuk Prabowo Subianto bertentangan dengan undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
TB Hasanuddin menegaskan, dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pemberian pangkat jenderal kehormatan hanya berlaku untuk perwira TNI yang masih aktif.
"Ada kenaikan pangkat sebagai bagian dari pemberian kehormatan ya, pemberian jasa, ya, tetapi itu hanya terbatas pada mereka yang masih aktif, saya ulangi lagi, pada mereka yang masih aktif," kata TB Hasanuddin dalam jumpa pers di Pelataran Menteng, Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Sementara untuk anggota yang tidak aktif, kata dia, hanya diberikan bintang tanda jasa dan kehormatan.
"Bagaimana yang tidak aktif? Ada pangkat bintang. Tapi bukan bintang yang di pundak, tolong dicatat, pembuat keputusan di pemerintah bukan bintang di pundak," ujar TB Hasanuddin.
(*)
Source | : | Tribunnews.com,ANTARA News |
Penulis | : | Siti Nur Qasanah |
Editor | : | Siti Nur Qasanah |
Komentar