Find Us On Social Media :

Meski Senjatanya Berlisensi Legal, Branton Tarrant Justru Menggunakannya untuk Membantai Jamaah Salat Jumat Masjid Christchruch

Pelaku Penembakan di Masjid Selandia Baru Dijatuhi Hukuman Terberat di Negaranya!

Laporan Reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade Prasetyo

Gridhot.ID - Suasana duka masih menyelimuti Selandia Baru pasca terjadinya teror penembakan dua masjid di kota Christchurch.

Dikabarkan ada 50 orang tewas dalam tragedi itu.

Sementara puluhan orang lainnya mengalami luka - luka dan meninggalkan trauma yang sulit dilupakan.

Baca Juga : Teror Penembakan di Manhattan AS, Satu Orang Dinyatakan Tewas

Melansir dari BBC, aksi teror itu dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan kepada kaum muslim di Christchurch.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengonfirmasi pelaku yang ditangkap adalah seorang pria berumur 28 tahun bernama Brenton Tarrant asal Grafton, Australia.

Branton Tarrant mengklaim sebagai teroris yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Baca Juga : 5 Imbauan KBRI Den Haag untuk WNI Pasca Teror Penembakan Trem di Utrecht

Melalui manifesto berjudul "The Great Replacement" yang dia buat sendiri, terungkap Tarrant sudah merencanakan aksi kejinya itu.

Ia sudah berencana untuk melakukan penembakan massal selama dua tahun terakhir.

Atas perbuatan kejinya, sementara Ia didakwa dengan satu tuduhan pembunuhan, tetapi polisi mengatakan untuk pengadilan selanjutnya akan lebih banyak lagi tuduhan yang diajukan.

Rencananya ia akan muncul kembali di pengadilan tinggi pada 5 April 2019.

Baca Juga : Pelaku Penembakan di Kota Utrecht Masih Buron, Persatuan Pelajar Indonesia di Belanda Sebar Nomor Panggilan Darurat

Dilansir Gridhot.ID dari Kompas.com Jumat (22/3/2019), kepolisian Selandia Baru mengungkap, mereka pernah bertemu dengan teroris penembak masjid di kediaman pada 2017.

Kunjungan itu dilakukan untuk memberikan lisensi kepemilikan senjata yang kemudian digunakan untuk aksi brutalnya di dua masjid Christchurch.

"Salah satu tahapan bagi seseorang mendapatkan izin membeli senjata adalah kunjungan polisi ke kediaman orang itu dan memeriksa keamanan propertinya," kata juru bicara kepolisian.

Baca Juga : Berada Tak Jauh dari TKP Penembakan, Mahasiswi Indonesia di Belanda Beri Kesaksian Detik-detik Mencekam Kota Utrecht

Kunjungan itu dilakukan Kepolisian Selandia Baru pada Oktober 2017.

Polisi juga melakukan wawancara pada Brenton Tarrant dan melakukan inspeksi keamanan di kediamannya.

"Menyusul kunjungan itu, semua informasi terkait orang itu dievaluasi dan lisensi diberikan pada November 2017," lanjut juru bicara kepolisian.

Dalam kunjungan itu, Tarrant juga memberikan dua nama warga setempat sebagai referensi.

Baca Juga : Kesaksian Warga di Sekitar Lokasi Penembakan di Kota Utrecht, Belanda

Kedua warga yang namanya disebut Tarrant itu juga diwawancarai polisi dan telah memenuhi syarat.

Polisi tidak mengungkap identitas dua orang tetangga Tarrant yang telah direferensikannya.

Pemerintah Selandia Baru mengatakan, Tarrant membeli semua senjata secara legal.

Baca Juga : Lilik Abdul Hamid, Sosok Taruna Berprestasi STPI Korban Penembakan di Masjid Christchurch

Naasnya senjata itu tak digunakan untuk hal yang benar.

Senjata - senjata yang dibeli itu kemudian digunakan untuk melakukan aksi kejinya di dua masjid di kota Christchurch dan menewaskan 50 orang.

Enam hari setelah serangan itu, PM Jacinda Ardern mengumumkan pelanggaran kepemilikan senjata semi otomatis standar militer dan senapan serbu.

PM Ardern juga melarang kepemilikan berbagai material yang biasa digunakan untuk memodifikasi senjata agar lebih mematikan.(*)