Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Di balik gagahnya Panglima TNI Hadi Tjahjanto, ada fakta menarik yang tak diketahui orang banyak dari profil tokoh militer yang satu ini.
Hadi Tjahjanto yang lahir dari darah militer, ternyata memiliki kisah-kisah sejarah hidupnya sebelum menjadi seorang Marsekal.
Banyak rintangan dalam kariernya dalam mengejar pencapaiannya.
Sebagai seorang anggota militer, ia dulunya selalu siap diterjunkan bertugas kapan pun dan dimana pun.
Bahkan ia bercerita hampir kehilangan nyawanya beberapa kali saat bertugas.
Seperti dikutip di buku Anak Sersan Jadi Panglima : Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto’ (2018 ) yang ditulis Eddy Suprapto, Marsekal Hadi ternyata memiliki kisah nyata yang nyaris merenggut nyawanya.
Ketika masih berpangkat sebagai seorang Kapten Penerbang, Marsekal Hadi yang saat itu menerbangkan pesawat transpor ringan Casa NC-212-200 memang termasuk pilot TNI AU yang beruntung.
Pasalnya ketika sedang melaksanakan tugas di daerah rawan seperti Papua, pesawat CASA yang sedang melaksana misi droping logistik dan pemindahan pasukan pernah tertembak dua kali dari bawah.
Tapi tembakan yang diduga berasal dari senapan serbu itu, tidak sampai mengakibatkan para awaknya terluka dan pesawat CASA rusak parah lalu jatuh.
Sebagai pesawat tranpor ringan yang biasa terbang rendah, CASA memang rawan oleh tembakan dari darat karena senjata jenis senapan serbu bisa melumpuhkannya.
Apalagi fuselage (badan) CASA tidak dibuat dari lapisan komposit yang anti peluru tapi alumunium yang mudah sekali ditembus peluru senapan serbu.
Oleh karena itu dalam penerbangan di daerah konflik CASA selalu terbang pada ketinggian 10.000 kaki sehingga bisa menghindari tembakan dari senapan serbu atau senapan mesin. Dari sejarahnya pesawat CASA yang rawan diserang pasukan darat saat terbang rendah ini memang sudah ditujukan untuk kepentingan militer.
Ketika pada tahun 1974 militer Spanyol memutuskan untuk mengoperasikan pesawat angkut ringan CASA C-212, pesawat yang diproduksi oleh Aviocar itu ternyata menjadi perhatian dunia.
Oleh militer Spanyol CASA yang dijagokan untuk mengganti pesawat transport dari era PD II tersebut sukses diterbangkan untuk operasi penerjunan pasukan, dropping logistik dan ambulan udara serta mampu menjangkau wilayah-wilayah terpencil.
Pendaratan CASA ke pulau-pulau terpencil yang umumnya memiliki landasan udara yang pendek bisa dilakukan berkat kemampuan Short Take off and Landing (STOL) dan mesin turbopropnya.
Teknologi STOL yang dimiliki CASA memungkin pesawat transport yang sanggup mengangkut maksimal 28 penumpang itu bisa lepas landas dan mendarat pada landasan sepanjang 500 meter saja.
Sementara mesin CASA yang digerakkan oleh gas turbin bisa diperkecil energinya sehingga memungkinkan lepas landas pada jarak pendek.
Mesin turboprop yang ‘’dijinakkan’’ baling-baling memang berbeda dibanding mesin turbojet yang memerlukan landasan panjang untuk proses lepas landas dan mendarat.
Pesawat CASA yang kemudian dikembangkan ke berbagai varian pun tidak hanya diminati oleh militer Spanyol karena militer dari sejumlah negara lain juga turut mengoperasikannya.
Sejumlah negara yang mengoperasikan CASA bahkan merupakan kampiun dalam industri pesawat terbang seperti AS, Perancis, dan Swedia.
CASA yang dioperasikan oleh militer AS lazim disebut sebagai C-41 dan merupakan varian CASA-400 yang dilengkapi berbagai peralatan dan mesin lebih canggih.
Pada awal operasional pesawat berbadan kotak dan memiliki sayap tinggi itu oleh militer Spanyol memang bukan dioperasikan sebagai pesawat penyerang melainkan transport untuk jarak pendek.
Kemampuan terbangnya pun terbatas dan kabinnya tidak memiliki sistem tekanan udara sehinga CASA hanya bisa terbang pada ketinggian maksimal 3000 m.
Tapi dalam perkembangan berikutnya seperti CASA-212-300 telah mengalami up grade pada pergantian mesin, dan blade rotor yang terbuat dari komposit sehingga tahan peluru.
Program up grade lainnya adalah pada sayap yang lebih vertikal, mempunyai sistem autopilot dan tekanan udara.
Sehingga CASA-212-300 sanggup terbang pada ketinggian 7925 m dan berkecepatan maksimal 370km dan jarak tempuh yang dicapai adalah 1433km.
Dengan jarak tempuh yang melebihi panjang pulau Jawa itu, CASA-212-300 bukan lagi pesawat transport jarak pendek tapi jarak jauh.
Sejak dioperasikan lebih dari 50 negara baik untuk kepentingan militer maupun sipil sedikitnya telah terjadi 71 kecelakaan yang menimpa CASA-212 dan merenggut lebih dari 400 korban jiwa.
Kecelakaan pertama berlangsung bulan Mei 1987 ketika pesawat CASA-212 yang dioperasikan perusahaan penerbangan komersil AS, jatuh di Puerto Rico dan menewaskan dua orang penumpangnya.
Kecelakaan CASA-212 yang rata-rata terjadi di pegunungan antara lain berlangsung di Panama, Venezuela, Kamerun, Chile, dan Indonesia.
Tiga pesawat CASA-212-200 Indonesia yang mengalami kecelakaan di gunung berlangsung di Papua, Gunung Salak Bogor, dan Bahorok, Gunung Leuser, Sumatra Utara.
Sejumlah kecelakaan lain berlangsung di laut, saat akan mendarat, dan ditembak rudal musuh seperti yang terjadi di Serbia serta Afrika.
Marsekal Hadi ketika menerbangkan CASA di Papua jelas sudah kenyang pengalaman dengan medan bergunung-gunung berkabut yang sebenarnya sangat rawan bagi keselamatan penerbangan pesawat transport ringan.
Tapi berkat kemampuan terbangnya yang makin profesional Marsekal Hadi selalu berhasil menjalankan misi terbangnya.
Yang lebih mujur lagi para anggota Gerakan Kelompok Bersenjata (GPK) di Papua yang pernah menembakinya, saat itu tidak memiliki rudal panggul penghancur pesawat seperti ‘’GPK’’ di Serbia dan Afrika.
Di kalangan para pilot TNI AU memang ada semacam pepatah.
Para pilot TNI AU harus bersyukur dan juga harus dihargai karena mereka bisa mendarat selamat setelah latihan menerbangkan pesawat yang dalam perawatannya hanya mendapat anggaran terbatas dari negara.
Oleh karena itu para pilot TNI AU yang bisa mendarat selamat setelah melaksanakan misi tempur dan sebelumnya pernah ditembaki musuh, betul-betul menjadi pilot yang sebenarnya sangat beruntung.
Apalagi jika pilotnya kemudian terus berprestasi dan bisa menjadi Panglima TNI.
Benar-benar merupakan orang yang beruntung mengingat sepanjang sejarah berdirinya TNI (72 tahun) baru ada 2 Panglima TNI yang berasal dari matra TNI AU.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Pesawat Pernah Ditembak Dua Kali di Papua, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto Termasuk Penerbang Yang Beruntung"