Laporan wartawan GridHot.ID, Dewi Lusmawati
GridHot.ID -Kementerian Luar Negeri Indonesia melayangkan protes keras terhadap China terkait kapal ikan yang memasuki perairan Natuna.
Ada pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, termasuk kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh penjaga Pantai China di Natuna.
Kementerian Luar Negeri pun telah memanggil Duta Besar China untuk Indonesia dan menyampaikan protes keras.
"Nota diplomatik protes juga telah disampaikan," dikatakan dalam pernyataan tertulis seperti dikutip Gridhot.ID dari Antara, Senin (30/12/2019).
Dubes China pun telah mencatat sejumlah hal yang telah disampaikan dan akan segera melaporkannya ke Beijing.
Namun, bukannya ucapan permintaan maaf yang didapat oleh Kemenlu, justru hal yang cukup memerahkan telinga rakyat Indonesia yang disampaikan oleh Kedubes China.
Hal ini seperti dikutip GridHot.ID dari BBC, Kementerian Luar Negeri China membantah bahwa kapal-kapalnya telah memasuki wilayah perairan Indonesia.
Dikatakannya kapal nelayan dari negara itu menangkap ikan di tempat yang sudah biasa dikunjungi nelayan-nelayannya.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, kembali menegaskan penolakannya atas klaim historis China di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) yang terletak dekat perairan Kepulauan Natuna, Provinsi Riau.
Penolakan ini disampaikan sehari setelah Kementerian Luar Negeri China mengaku memiliki kedaulatan atas wilayah perairan di dekat Kepulauan Nansha atau Kepulauan Spratly, yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan klaim RRT atau China tidak berdasar.
"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," jelas Kementerian Luar Negeri pada Rabu (01/01/2020).
Pemerintah China, melalui juru bicara Kemenlu Geng Shuang, juga kembali meneguhkan bahwa negara itu memiliki hak historis di Laut China Selatan.
"Sementara itu, China mempunyai hak historis di Laut China Selatan. Para nelayan China sudah lama terlibat dalam kegiatan perikanan di perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha, yang selama ini legal dan absah."
Indonesia mendesak China untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaimnya di zona ekonomi eksklusif berdasarkan UNCLOS 1982.
Berdasarkan konvensi itu, Indonesia tidak memiliki overlapping claim atau klaim tumpang tindih dengan China.
Adapun di wilayah Laut China Selatan, terjadi klaim tumpang tindih antara negara-negara di Asia Tenggara yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, dan juga China serta Taiwan.
Sengketa terbaru antara Indonesia dan China ini muncul setelah Indonesia pada Senin (30/12) melayangkan nota protes dengan alasan kapal ikan China memasuki perairan Natuna.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Indonesia juga telah menangkap kapal nelayan berbendera China yang dituduh mencuri ikan di dekat kepulauan Natuna. Kapal patroli China tampak mendampingi kapal-kapal nelayan tersebut.
Akan tetapi otoritas China selalu berkeras bahwa kapal-kapal nelayan mereka beroperasi secara sah di wilayah mereka.
Padahal, berdasarkan UNCLOS yang merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 yang mengatur tiga batas maritim; laut teritorial, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
ZEE dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar.
Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada.
Ditambahkan oleh Kementerian Luar Negeri RI bahwa klaim China atas ZEE "telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016."
SCS Tribunal 2016 merujuk pada keputusan sidang South China Sea atau sidang mengenai sengketa Laut China Selatan yang digelar di Den Haag pada Juli 2016 yang memutuskan bahwa China tidak mempunyai landasan hukum dalam berbagai tindakannya di Laut China Selatan, termasuk membangun pulau-pulau buatan.
Pengadilan juga memutuskan China tidak mempunyai kedaulatan atas perairan yang luas di wilayah itu. Sidang digelar atas tuntutan pemerintah Filipina yang juga mengaku mempunyai kedaulatan di Kepulauan Spratly.
Dalam jumpa keterangan pers pada Selasa (31/12/2020) di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan, "China mempunyai kedaulatan di Kepulauan Nansha Islands dan mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha."
Namun istilah yang digunakan China sebagai "relevant waters atau perairan-perairan terkait" untuk merujuk pada perairan di sekitar wilayah yang mereka klaim juga ditolak oleh Indonesia.
"Indonesia juga menolak istilah "relevant waters" yang di klaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," tegas Kementerian Luar Negeri melalui pernyataan tertulis.(*)