Laporan wartawan GridHot.ID, Dewi Lusmawati
GridHot.ID - Amerika Serikat (AS) melalui Pentagon mengumumkan, jenderal top Iran Qasem Soleimani tewas dalam serangan "atas arahan presiden".
Soleimani, komandan Pasukan Quds yang merupakan cabang Garda Revolusi, tewas dalam serangan rudal di bandara Baghdad, Irak.
Menteri Luar Negeri Iran, Mohamed Javad Zarif, menyebut langkah itu "berbahaya dan berpotensi menyulut eskalasi konyol".
"Atas arahan presiden, militer AS menggunakan tindakan penting dengan membunuh Qasem Soleimani, Kepala Pasukan Quds," ujar Pentagon.
Dilansir AFP dan BBC Jumat (3/1/2020), langkah itu diambil guna mencegah rencana serangan Teheran di masa mendatang.
Pentagon menyatakan, perwira berpangkat Mayor Jenderal itu secara aktif merencanakan serangan terhadap diplomat maupun militer AS di Timur Tengah.
"Jenderal Soleimani dan Pasukan Quds bertanggung jawab atas kematian ratusan warga AS maupun koalisi, serta ribuan orang yang terluka," jelas Pentagon.
Washington menjelaskan, perwira tinggi berusia 62 tahun itu mendalangi serangan terhadap markas mereka di Irak.
Termasuk, serangan roket yang menewaskan seorang kontraktor sipil AS di wilayah Kirkuk pada Jumat pekan lalu (27/12/2019).
"Amerika Serikat akan terus melanjutkan segala tindakan untuk melindungi warga dan kepentingan kami di mana pun mereka berada," tegas Pentagon.
Sementara Presiden Donald Trump merilis gambar bendera AS dalam kicauannya di Twitter menyusul kematian komandan top Iran itu.
Militer Irak menyatakan, Bandara Internasional Baghdad dicecar dengan serangkaian rudal tepat pada Jumat tengah malam.
Sumber keamanan menerangkan, serangan itu menargetkan konvoi paramiliter Hashed al-Shaabi, dengan delapan orang tewas, termasuk Soleimani.
Selain Soleimani, Hashed al-Shaabi mengonfirmasi bahwa pemimpin mereka, Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas, dengan serangan dilakukan helikopter AS.
Serangan itu terjadi tiga hari setelah massa yang merupakan pendukung Hashed menyerbut Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Aksi protes berujung kerusuhan tersebut terjadi setelah Pentagon menggelar serangan udara yang menewaskan 25 orang anggota Hashed.
Serangan yang terjadi Minggu (29/12/2019) itu disebut Washington merupakan balasan atas serangan roket yang menewaskan kontraktor sipil itu.
Usai serangan mematikan AS tersebut, media sosial twitter ramai dibicarakan perihal World War 3 alias Perang Dunia Ketiga pada Jumat (3/1/2020).
Jika memetakan kekuatan dari kedua negara, jelas Iran kalah telak dan Amerika jelas diuntungkan untuk pertempuran satu lawan satu.
Hal itu terlihat seperti Amerika menghancurkan Taliban di Afganistan dan menyapu Saddam Hussein dari kekuasaan di Irak hanya dalam beberapa minggu.
Sejak Perang Vietnam, pasukan AS tidak pernah kalah dalam pertempuran.
Terlepas dari itu, tidak satu pun dari konflik itu berakhir dengan kemenangan total.
Dan pertempuran-pertempuran tersebut telah menunjukkan bagaimana kekuatan militer Amerika yang didasarkan pada kecanggihan teknologi mereka.
Dalam hal populasi Iran hanya memiliki 80 juta penduduk, angka yang lebih kecil dibandingkan AS dengan 325 juta penduduk.
Sementara jumlah, militer AS sekitar 1,3 juta personel militer aktif dan Iran hanya memiliki 550 ribu termasuk personel cadangan, sedang AS masih menyimpan 2 juta personel cadangan.
Sementara kekuatan darat Iran hanya memiliki 1.600 tank sedangkan AS memiliki 5.000 dan keduanya dalam kondisi siap tempur.
Untuk pasukan udara, AS memiliki 13 ribu pesawat militer di semua cabang sedang Iran hanya memiliki 550 pesawat dengan teknologi sisa-sisa perang dingin.
Terakhir di kubu angkatan laut, Amerika mempunyai 282 kapal induk dengan kekuatan tempur yang disebarkan termasuk, 11 kapal induk bertenaga nuklir.
Sedang Iran hanya memiliki 50 kapal perang, dengan perahu konvensional yang bisa digunakan untuk perahu bunuh diri.
Selain yang disebutkan di atas jelas anggota militer milik Amerika lebih terlatih daripada militer Iran.
Namun, dikutip Gridhot.ID dari Intisari, satu kemungkinanan yang bisa membuat Iran menang adalah sebab tidak ada prospek Iran meluncurkan perang konvensional melawan AS.
Teheran juga bukanlah ancaman militer konvensional terhadap Amerika.
Akan jauh lebih mungkin untuk bergantung pada operasi rahasia dan asimetris misalnya, serangan cyber atau teror terhadap target AS atau sekutunya di Timur Tengah.
Para pengamat umumnya sepakat bahwa invasi ke Iran akan jauh lebih menantang dan berdarah daripada Perang Irak.
Meskipun Saddam digulingkan dalam beberapa minggu, bertahun-tahun perang gerilya menyebabkan hampir 5.000 orang Amerika mati, puluhan ribu tentara terluka, dan ratusan ribu korban sipil.
Irak adalah negara yang jauh lebih kecil daripada Iran, dan daerahnya jauh lebih cocok untuk pasukan lapis baja AS yang membuat takut lawan-lawan mereka pada 2003.
Ini bukan hanya intervensi Timur Tengah, namun perang dengan Iran akan menjadi prospek yang menghancurkan bagi semua orang yang terlibat.(*)