Find Us On Social Media :

Pertama Kalinya Dalam 50 Tahun Terakhir, Ekonomi China Dibuat Babak Belur oleh Wabah Corona, Sri Mulyani: Risiko Corona Lebih Rumit dari Krisis 2008

Ekonomi China Babak Belur Hingga Tumbuh Negatif untuk Pertama Kali Sejak 50 Tahun, Sri Mulyani: Risiko Corona Lebih Rumit dari Krisis 2008

 

Gridhot.ID - Corona yang sudah diakui positif terjadi di Indonesia memang menimbulkan kekhawatiran masyarakat.

Tidak hanya dari risiko kesehatan, namun juga dari sisi ekonomi.

Sebab, dengan tidak adanya masyarakat yang beraktivitas dan semakin dibatasinya kunjungan antar negara, ekonomi benar-benar lesu.

Baca Juga: Gelar Perkara Wali Santri Ngamuk Tak Terima Anaknya di DO, Labrak Bawa Pengacara hingga Pukuli Ustaz, Pengasuh Ponpes Angkat Bicara: Pesantren kan Punya Aturan!

Di China, tempat asal mula wabah corona dengan korban  terbanyak, ekonomi terperosok ke dalam kontraksi pertamanya sejak tahun 1970-an.

Aktivitas ekonomi China menurun tajam pada Februari 2020 ketika perusahaan-perusahaan berjuang untuk membuka kembali bisnis atau mempekerjakan pekerja setelah pemerintah China meminta penutupan pabrik untuk mencegah penyebaran corona.

Hasilnya, indeks pembelian manajer (PMI) Caixin atau indeks manufaktur China anjlok ke level 26,5 di bulan Februari 2020 lalu, dari sebesar 51,8 pada bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, bukan pertumbuhan.

Baca Juga: Nyamar Pakai Jas, Pengantin Laki-laki Ternyata Wanita Ini Nekat Nikahi Siri Perempuan Pujaannya, Keluarga Geger Saat Identitasnya Terbongkar

"Ekonomi China memang sangat buruk," kata Kit Juckes, ahli strategi di Societe Generale seperti dikutip CNN.

Raymond Yeung, Kepala Ekonom untuk Greater China di ANZ mengatakan wabah virus corona telah menempatkan pemerintah China ke dalam situasi yang sulit.

Di satu sisi, kebijakan penguncian atau isolasi adalah cara paling efektif untuk mencegah penyebaran virus. "Di sisi lain, langkah-langkah kesehatan itu menghambat kegiatan ekonomi," ujarnya.

Gambar suram industri manufaktut itu diperkuat data penjualan perusahaan besar di China. Pembuat bir terbesar di dunia, ABInBev menyebut telah kehilangan US$ 285 juta pendapatan pada Januari dan Februari 2020 di Cina.

Sementara pembuat iPhone, Foxconn tidak mengharapkan produksi pabrik di China akan kembali normal sampai akhir Maret 2020.

Baca Juga: Viral! Istri Antar Suami Nikah Lagi dengan Janda Pengusaha di Bulukumba, Temani Ijab di Rumah Istri Muda dan Nampak Bahagia Rayakan Kebahagiaan Sang Suami

Loyonya industri manufaktur bisa melumpuhkan pertumbuhan ekonomi China di kuartal I tahun ini. Kepala ekonom Macquarie Group, Cina, Larry Hu mengatakan, China dapat mengalami penurunan ekonomi untuk pertama kalinya dalam sejarah.

"Data menunjukkan bahwa semuanya benar-benar buruk dan pemerintah bersedia melaporkannya," tulis Hu dalam sebuah catatan.

Ia menambahkan pertumbuhan ekonomi China di kuartal pertama 2020 bisa jauh di bawah perkiraan yang saat ini berjalan sekitar 4% (turun dari 6% pada kuartal keempat 2019).

"Bahkan mungkin bahwa pemerintah akan melaporkan pertumbuhan negatif untuk (kuartal pertama), pertama kalinya sejak akhir Revolusi Kebudayaan," tambahnya.

Baca Juga: Pecah Telor! Pertama Kalinya dalam 1400 Tahun Sejarah Islam, Arab Saudi Tutup Akses Umrah Selama Satu Tahun Bagi Semua Negara, Lindungi Jantung Dunia Muslim Alasannya

Ekonomi Tiongkok mengalami kontraksi 1,6% pada tahun 1976, ketika kematian pemimpin Partai Komunis Mao Zedong mengakhiri satu dekade panjang kerusuhan sosial dan politik di negara itu.

Sejak itu, ekonomi Cina mengalami booming, tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata 9,4% antara tahun 1978 dan 2018 ketika memulai serangkaian reformasi ekonomi.

Hu menuliskan, China kemungkinan akan memberlakukan lebih banyak langkah kebijakan untuk membantu perekonomian, tetapi terlalu dini untuk mengharapkan paket stimulus besar dari Beijing.

Ekonom UBS juga memprediksi ekonomi China berkontraksi pada Januari dan Februari 2020, karena data PMI yang buruk.

"Dua minggu ke depan akan sangat penting untuk melacak jalur kasus virus corona yang dikonfirmasi dan laju normalisasi ekonomi," tulis Ning Zhang dan Tao Wang, ekonom UBS.

Baca Juga: Bandara Soekarno Hatta Sepi Penumpang Pasca Pemberitaan Corona, Soleh Solihun Bagikan Potret Santuy di Ruang Tunggu: Enak Nih, Jadi Bisa Rebahan

Data terbaru tersebut juga menunjukkan bahwa upaya China untuk meningkatkan lapangan kerja di tahun ini dalam bahaya. Sektor jasa China mewakili sekitar 360 juta pekerjaan dan menyumbang 46% dari pasar tenaga kerja, menjadikannya sumber pekerjaan terbesar di negara itu.

Otoritas pemerintah telah berusaha keras untuk menjaga pengangguran tetap rendah harus mulai waspada terhadap dampak yang bisa terjadi sebaliknya.

Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan pada bulan lalu bahwa para pejabat mengawasi dengan cermat masalah ketenagakerjaan dan akan berusaha mencegah PHK besar-besaran."

Baca Juga: Terus Gempur Distrik Tembagapura, Pasukan KKB Paksa Rebut Kawasan Freeport, Joni Botak dan Lekagak Telenggen Persenjatai Lengkap Pasukannya

Dia juga mengatakan menstabilkan pekerjaan adalah tugas utama pemerintah, dan memberikan penekanan khusus pada lulusan baru dan pekerja migran.

Sebanyak 290 juta pekerja migran China termasuk di antara mereka yang paling rentan terhadap kemerosotan, karena mereka sering melakukan perjalanan dari daerah pedesaan ke kota-kota untuk melakukan pekerjaan konstruksi, manufaktur, atau layanan yang akan sulit ditemukan selama sejumlah kota di China pada bulan lalu.

Hanya 80 juta pekerja migran telah kembali bekerja pada pertengahan Februari 2020, menurut data pemerintah China.

Dalam beberapa hari terakhir, China telah mendesak mahasiswa untuk bergabung dengan tentara dan memerintahkan semua perguruan tinggi negeri untuk memperluas program gelar lanjutan mereka - upaya yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pencari kerja.

Baca Juga: Disekap dan Dipalak Preman Pasar, Pedagang Ayam Pasar Ini Buat Tunggang Langgang Gerombolan Pelaku, Ternyata Bukan Sosok Sembarangan

Lebih rumit dari krisis ekonomi 2008

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui risiko akibat virus corona (Covid-19) lebih rumit dari krisis ekonomi global tahun 2008.

Hal itu melihat perbedaan dari kedua kondisi tersebut. Sebelumnya pada krisis tahun 2008 lebih besar serangan dari lembaga keuangan terutama perbankan dan pasar modal.

Sedangkan saat ini serangan langsung pada sektor riil. Sehingga dampaknya akan berbeda bila dibandingkan dengan krisis sebelumnya.

Baca Juga: Pribadinya Tak Jauh Dari Sang Kakak, Inilah Sifat Beringas Adik Perempuan Kim Jong Un, Buat AS Berpikir 2 Kali Berurusan dengan Sosok Ini

"Karena menyangkut masalah orang yang tidak berani melakukan mobilitas, tidak melakukan kegiatan, itu pengaruhi sektor riil, investasi, manufacturing," ujar Sri usai rapat di Kantor Presiden, Kamis (5/3).

Sri menyebut aktivitas industri tertunda karena adanya gangguan rantai pasok. Hal itu dapat menciptakan kondisi terjadinya pengangguran.

Beberapa sektor seperti pariwisata, maskapai penerbangan, hotel dan manufaktur terganggu.

Selain itu ada pula kekhawatiran akan mengenai sektor keuangan akibat Covid-19.

Oleh karena itu pemerintah sedang merumuskan kebijakan terkait mengatasi masalah tersebut. Kebijakan harus menjaga sektor riil.

Baca Juga: Turut Rasakan Kelangkaan Masker di Tengah Heboh Corona, Ruben Onsu Kaget Lihat Harganya yang Melonjak Tak Masuk Akal: Kasihan Rakyat Kecil, Gak Semua Bisa Beli

"Makanya tadi respons pertama fokusnya pertama yang langsung berhubungan dengan tourism seperti hotel, restoran, airlines. Tapi sekarang kita lihatnya lebih luas kepada sektor manufaktur. Jadi ini bentuk pemihakan, bantuan, insentif harus di-modify berdasarkan kebutuhan," jelas Sri Mulyani

Saat ini kebijakan masih terus dikaji oleh pemerintah. Sri Mulyani menekankan kebijakan akan memperhatikan dampak baik untuk masyarakat maupun dunia usaha.

Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Menkeu akui risiko corona lebih rumit dari krisis ekonomi 2008" dan "Dihantam corona, ekonomi China bisa tumbuh negatif untuk pertama kali sejak 1970-an".