Find Us On Social Media :

Didesak Cetak Uang hingga Rp4.000 Triliun untuk Bantu Masyarakat di Tengah Pandemi, BI Justru Bakal Buat Indonesia Melarat Jika Nekat Dilakukan, Berikut Imbasnya!

Jika Bank Indonesia Nekat Cetak Uang Rp 4.000 Triliun Demi Selamatkan Warga dari Wabah Virus Corona, Indonesia Malah Bakal Makin Sengsara, Kok Bisa?

Gridhot.ID - Badan Anggaran DPR RI sempat memberikan usul kepada Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang Rp 600 triliun di tengah pandemi Covid-19.

Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bahkan menyampaikan saran serupa dengan nominal lebih ekstrim yakni Rp 4.000 triliun, seperti dikutip Kontan.co.id.

Jumlah yang sangat fantastis dengan risiko besar yang tentunya tidak mudah untuk dihadapi.

Baca Juga: Karma Instan, Video Diduga Ferdian Paleka Jadi Bulan-bulanan Narapidana di Penjara Viral di Sosial Media, Ditelanjangi Hingga Tubuhnya Dimasukkan ke Dalam Tong Sampah

Menurut Gita, selain menyelamatkan ekonomi negara, uang itu juga dapat diberikan untuk membantu rakyat kecil terdampak corona.

"Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM," ucap Gita, dilansir dari Kontan.co.id.

Wacana cetak uang ini muncul sebab defisit APBN telah mencapai 5 persen, padahal sebelumnya hanya 1,75 persen.

Baca Juga: Dikucilkan WHO Padahal Berhasil Lawan Virus Corona, Taiwan Kini Dapat Dukungan Penuh Amerika Serikat, China Malah Panas Sendiri Lihat Keduanya Kolaborasi: Pertemuan Itu Akan Gagal

Wakil Ketua Pertimbangan Kadin itu bahkan meminta BI untuk tak kuatir, sebab banyak pula negara lain yang mencetak uang di masa-masa sulit.

"Harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang. Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini," ujarnya.

Pria yang pernah berkarir di Goldman Sachs ini menepis kekhawatiran adanya moral hazard dalam kebijakan cetak uang.

Dia menganggap bahwa itu adalah alternatif paling mungkin untuk mencapai likuiditas.

Kendati demikian, BI memberi indikasi tak akan mencetak uang tambahan utuk menambah dana atau likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.

Baca Juga: Dendam Kesumat, Amerika Serikat Keluarkan Aturan Super Ketat untuk Wartawan China di Negaranya, Gelombang Permusuhan Keduanya Kian Memanas

Sebab hal itu akan menyebabkan inflasi gila-gilaan yang kedepannya justru bakal menyengsarakan rakyat.

Cetak uang yang tak dapat dikendalikan akan membuat nilai tukar rupiah makin berkurang, dan menyebabkan harga-harga melambung tinggi.

Hal ini menjadi lebih parah karena permintaan produksi barang/jasa makin rendah, sehingga memicu situasi krisis yang makin mengerikan.

Baca Juga: Sudah Jadi Legenda Sejak Dulu, Didi Kempot Ternyata Hanya Dapat Honor Belasan Juta Sekali Manggung, Gofar Hilman Bongkar Bayaran Sang Maestro Setelah Sukses di Acara Ngobam

Nilai tukar Anjlok

Nilai tukar mata uang asing, dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.

Jika peredaran rupiah makin bertambah, maka nilai kurs Internasional bakal makin turun.

Terlebih, rupiah tak sama seperti dollar AS dan yen Jepang yang diterima di dunia.

Berkaca dari Zimbabwe, negara itu bahkan pernah mengalami hiperindlasi karena mata uang yang hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.

Inflasi di Zimbabwe bahkan pernah menyentuh angka 231 juta persen pada tahun 2008, menyebabkan adanya redenominasi mata uang dengan menghilangkan 10 angka nol dari 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe

Baca Juga: Kalang Kabut Para Petinggi Korut, Kim Jong Un Biarkan Isu Kembaran dan Sengaja Menghilang Demi Sebuah Pukulan, Kini Banyak Pihak yang Ketakutan

Utang membengkak, PHK besar-besaran

Cetak uang secara berlebihan juga meningkatkan risiko utang luar negeri naik tajam.

Ini merupakan efek domino dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap kurs asing.

Makin rupiah tak berarti di mata internasional, maka utang negara akan otomatis membengkak.

Baca Juga: Dikepung Inovasi Negara Lain Saat Hadapi Corona, Prabowo Subianto Bongkar Fakta Ventilator Khusus Hanya Bisa Dipakai 200 Dokter Saja, Sang Menteri Pertahanan Justru Banggakan Hal Ini dari Indonesia

Sebagai mata uang yang tak diakui secara internasional, rupiah tidak dapat sekonyong-konyong dicetak tanpa pertimbangan.

Beredarnya jumlah uang yang terlalu banyak juga mengakibatkan daya beli masyarakat anjlok.

Mengakibatkan adanya PHK karyawan besar-besaran, karena banyak perusahaan yang menurunkan dan menahan produksi barang/jasa.

Situasi ini kemudian membuat investor tak tertarik berinvestasi di Indonesia, atau dalam kondisi terparahnya, investor akan menarik modal yang di tanam di Indonesia.

Bank sentral tak ingin mengulang BLBI 1998

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, alasan lain mengapa BI menolak mencetak uang sebab bank sentral enggan mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998.

Baca Juga: Nego dengan Pihak Luar, Menristek Ogah Indonesia Cuma Dijadikan Tempat Uji, Tak Mau Sekedar Beli, Vaksin Harus Diproduksi Sendiri

Saat itu, angka inflasi Indonesia mencapai 67 persen.

"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol," kata Perry ketika memberikan penjelasan kepada anggota Komisi XI DPR RI secara virtual.

Perry mengatakan, saat inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah dan likuiditas.

Baca Juga: Data DKI Kurang Valid, Video Viral Isi Paket Sembako Tak Lengkap Ternyata Bertujuan Baik, Kemensos Angkat Bicara

"Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," tambahnya.

Alih-alih melakukan pencetakan besar-besaran, BI kata Perry, lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain untuk menambah likuiditas.

Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.(*)

Artikel ini pernah tayang di Sosok.id dengan judul "Jika BI Nekat Cetak Uang Rp 4.000 Triliun untuk Selamatkan Warga dari Corona, Indonesia Justru Bakal Makin Sengsara"