Find Us On Social Media :

Pantas China Ambisius untuk Menguasainya, Ternyata Laut China Selatan Simpan Harta Karun Menggiurkan, Nilai Perdagangan Didalamnya 2 Kali Lipat PBD Indonesia

Jika Jadi Sebuah Negara, Laut China Selatan Punya Nilai Perdagangan Jauh Lebih Besar dari PDB Indonesia, Serta Cadangan Minyak dan Gas Bumi Terbesar di Dunia, Lihat Angka-angkanya Ini!

Gridhot.ID - Laut China Selatan semakin memanas seiring dengan meningkatnya aktivitas militer Amerika Serikat di wilayah tersebut.

Bahkan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, aktivitas militer AS jauh lebih besar dan kini malah semakin mendekati perairan China.

Hal ini tentu saja memunculkan berbagai spekulasi tentang kemungkinan terjadinya konfrontasi di antara kedua negara.

Baca Juga: Pasang Spanduk Besar-besar, Pablo Benua dan Rey Utami Sesumbar Beri Bantuan Senilai Rp 1 Miliar, Kresek Merah yang Jadi Wadah Sembako Langsung Jadi Sorotan: Bingkisannya Gak Mencerminkan

Jika itu sudah terjadi dan tidak ada kesepekatan diplomatis di antara dua negara, maka bukan tidak mungkin perang akna terjadi.

Lalu mengapa Laut China Selatan begitu ingin dikuasai oleh kedua negara? Ternyata ini terkait dengan potensi ekonomi yang berada di dalamnya.

Bayangkan saja, jika Laut China Selatan ini menjadi sebuah negara, maka satu saja potensi ekonomi terbesarnya bisa meraup untung hampir 2 kali lipat PDB Indonesia.

Baca Juga: Suaminya Jor-joran Tiap Kali Berikan Bantuan, Sandra Dewi Khawatir Tabungan Keluarganya Ludes di Tengah Wabah: Aku Ngerti Tuhan Pasti Bales, Lagi Corona Gini Gimana Ngebalesnya?

Belum lagi kekayaan alamnya yang mampu membuat posisi Venezuela dan Rusia tergeser sebagai negara dengan cadangan minyak bumi dan gas alam terbesar di dunia.

Tak percaya? Simak saja rinciannya berikut ini.

Tapi, sebelum kita melihat harta karun menggiurkan di Laut China Selatan, mari kita lihat dulu sejarah konflik yang melibatkan China dengan beberapa negara ASEAN ini.

Pada 1947, saat China masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut China Selatan.

Saat itu, pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai "eleven-dash line".

Baca Juga: Tiongkok Klaim Semena-mena Laut China Selatan, Amerika Serikat Tingkatkan Operasi Militer Besar-besaran, Jet Tempur Paman Sam Buat Ketegangan Kian Meningkat

Berdasarkan klaim ini China menguasai mayoritas Laut China Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat China dari Jepang usai Perang Dunia II.

Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa China pada 1949. Namun, pada 1953, pemerintah China mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta "eleven-dash line" buatan Kuomintang.

Pemerintah Komunis "menyederhanakan" peta itu dengan mengubahnya menjadi "nine-dash line" yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu.

Baca Juga: Sanggup Pertahankan 6 Ribu Karyawan di Tengah Krisis Wabah Corona, Ruben Onsu Ternyata Punya Kekayaan Luar Biasa yang Disembunyikan, Ivan Gunawan Bongkar Helikopter Milik Suami Sarwendah

Celakanya, klaim China itu kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di kawasan tersebut. Kini tak kurang dari Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia berebut wilayah tersebut dengan China.

Pada 1974, setahun setelah keterlibatan AS di Vietnam resmi diakhiri dengan Perjanjian Damai Paris, China bergerak cepat "mengamankan" wilayah ini.

Militer China dikirim untuk menduduki sisi barat Kepulauan Paracel. Mereka mengibarkan bendera dan mengalahkan satu garnisun pasukan Vietnam di sana.

Pasukan Vietnam mundur dan mendirikan pos permanen sekaligus menduduki Kepulauan Spratly. Di saat yang sama China memperkuat militernya di Pulau Woody, pulau terbesar di Kepulauan Paracels.

Setelah Vietnam Utara dan Selatan bersatu dan membentuk Republik Sosialis Vietnam, negeri itu tetap mengukuhkan klaim terhadap Spratly dan Paracels.

Baca Juga: Mendadak Jadi Anak Baik, Dua Remaja Pelaku Begal Ajak Polisi Sungkem, Pura-pura Polos Saat Ditanya Hal Ini

Vietnam mengklaim China tak pernah mengklaim kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracels sebelum 1940-an.

Sementara, Vietnam mengaku telah menguasai kedua kepulauan tersebut sejak abad ke-17 dan mengklaim memiliki berbagai dokumen itu membuktikan hal tersebut.

Seolah dua negara belum cukup untuk memanaskan situasi di kawasan tersebut, Filipina ikut meramaikan suasana dengan mengklaim kepemilikan Kepuluauan Spratly.

Baca Juga: Indonesia Masih Pontang Panting Hadapi Corona, Luhut Pastikan TKA China Masuk Bulan Juni atau Juli 2020, Sang Menteri: Jangan Sebar Berita Bohong, Kita Buat Lapangan Pekerjaan

Filipina mendasarkan klaim ini semata karena lokasi geografisnya yang dekat dengan Kepulauan Spratly sehingga menganggap kepulauan itu sebagai bagian dari wilayahnya.

Filipina dan China berebut gundukan Scarborough yang di dalam bahasa China disebut dengan nama Pulau Huangyan, rangkaian pulau karang seluas 46 kilometer persegi.

Kawasan sengketa ini berada sejauh 160 kilometer dari daratan Filipina dan berjarak lebih dari 800 kilometer dari China.

Lalu masih ada Malaysia dan Brunei yang juga mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang menurut kedua negara ini masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif mereka seperti ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Brunei tidak mengklaim satu pulau pun di kawasan ini, sementara Malaysia mengklaim beberapa pulau kecil di Kepulauan Spratly sebagai wilayah negeri itu.

Baca Juga: 2 Bayi Kembarnya Tidur Sekasur, Jeje Govinda Panik Lihat Kecerobohan Istrinya, Syahnaz Sadiqah: Tenang, Dia Belum Bisa

Untuk menyelesaikan sengketa ini, China memilih untuk melakukan negosiasi bilateral dengan negara-negara yang menjadi lawan sengketa di Laut China Selatan.

Namun, negeri-negeri tetangga China mengatakan, dengan pengaruh dan wilayahnya yang besar maka secara tidak langsung China memiliki keuntungan dibanding negara-negara di sekitarnya.

Beberapa negara mengatakan, China harus berunding dengan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), tetapi China menolak usulan itu sementara ASEAN juga terbelah soal cara menyelesaikan sengketa ini.

Baca Juga: Terungkap Fakta Baru, ABK Indonesia Sempat Minta Jenazah Disimpan di Ruang Berpendingin dan Kelak Dikubur Secara Layak di Daratan, Kapten Kapal China Justru Lakukan Ini

Di tengah semua tarik ulur ini, Filipina mengambil langkah berani dengan mengajukan kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda pada 2013.

Setelah bersidang selama tiga tahun, Mahkamah Arbitrase memenangkan Filipina dan mengatakan China tak memiliki hak historis untuk mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan.

Apakah putusan Mahkamah Arbitrase ini menyelesaikan masalah? Nampaknya tidak , sebab China langsung menolak keputusan itu dan sepertinya sengketa ini akan memasuki sebuah level baru yang semakin panas.

Potensi Ekonomi

Mengapa Laut China Selatan ini menjadi begitu diperebutkan? Bukankan laut itu cukup luas untuk dibagi bersama keenam negara yang memperebutkannya?

Menurut data dari pemerintah AS, Laut China Selatan memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa.

Laut ini merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang bernilai tak kurang dari 5,3 triliun dolar AS setiap tahunnya.

Baca Juga: Bisa Hirup Udara Bebas, Kapolresta Bandung Persilahkan Pengacara Ajukan Penangguhan Penahanan, Orang Tua Ferdian Paleka CS Akan Jamin Para Tersangka Tidak Melarikan Diri dan Menghilangkan Barang Bukti

Bayangkan, satu potensi ekonominya saja sudah lebih besar dibanding PDB Indonesia tahun 2019 menurut IMF, yaitu 'hanya' mencapai 3,55 triliun AS.

Selain itu, menurut data Badan Informasi Energi AS, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik (setara 57,9 triliun meter kubik).

Sementara cadangan minyak negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia (2017) saja, yaitu Venezuela, 'hanya' 300,878 barel.

Baca Juga: Anies Baswedan Terus-terusan Tagih Dana Bagi Hasil Rp 5,1 Triliun ke Menteri Keuangan, Tangan Kanan Sri Mulyani: Audit BPK Belum Selesai

Serupa dengan cadangan minyak, dalam hal gas alam, jumlah yang terkandung di Natuna mampu mengalahkan posisi Rusia sebagai pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia pada 2017 (menurut BP Statistical Review of World Energy 2018) yaitu 'hanya' 33,6 triliun meter kubik.

Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut.(*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara"