Find Us On Social Media :

Hilirisasi Tambang Pakai Cara Luhut Binsar, Indonesia Justru Bikin China Tambah Kaya, Ekonom Senior: Sadar Nggak Sih Kita?

Kebijakan Luhut untungkan China

Gridhot.ID - Luhut lagi-lagi jadi sorotan.

Hal ini disebabkan kebijakan hilirisasi tambang yang disebutnya beberapa waktu lalu.

Ekonom senior Faisal Basri menyoroti kebijakan peningkatan nilai tambah pertambangan di Indonesia yang dinilainya masih setengah hati.

Dia mengkritisi konsep hilirisasi pertambangan yang belum terintegrasi dengan pengembangan industri di dalam negeri.

Baca Juga: Jedar Idap 2 Penyakit Sekaligus, Erick Iskandar Berurai Air Mata Ungkap Ketakutan Terbesarnya: Kasian, Dia Sendirian...

Jika memakai strategi industrialisasi, kata Faisal, barang tambang yang diolah akan digunakan untuk pengembangan industri di Indonesia.

Namun dengan konsep seperti sekarang, barang tambang yang belum diolah menjadi produk jadi pun sudah terhitung sebagai hilirisasi.

Akibatnya, dia menyebut bahwa hilirisasi tambang di Indonesia malah menopang industri di negara lain.

"Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar nggak sih kita?," kata Faisal dalam webinar yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rabu (29/7/2020).

Baca Juga: 2 Hari Berturut-turut, Dua Kantor PAC PDI-Perjuangan di Bogor Dapat Teror Bom Molotov, Ini Kata Polisi

Faisal memberikan gambaran tentang maraknya minat perusahaan China untuk mendirikan smelter di Indonesia, khususnya smelter nikel.

Menurutnya, kebijakan hilirisasi saat ini lebih dominan menguntungkan para pengusaha smelter tersebut.

Dia mencontohkan, perusahaan tambang lokal harus membayar bea ekspor dan juga royalti, tapi smelter tidak dikenakan.

Perusahaan smelter pun bisa semakin banyak menumpuk laba karena tidak terbebani oleh pajak badan karena mendapatkan tax holiday.

Baca Juga: Sewa Bilik Asmara, Nunung Ngaku 4 Kali Berhubungan Badan dengan Iyan Sambiran Selama Rehabilitasi, Sang Komedian: Bayar Rp 300 Ribu untuk 4 Jam

Terlebih, smelter pun bisa mendapatkan bahan baku berupa bijih atau ore nikel dengan harga yang sangat murah.

Dengan berbagai fasilitas tersebut, perusahaan asal China lebih banyak mengantongi keuntungan jika membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya.

"Kalau mereka bangun smelter di China, mereka beli nikel ore dengan harga jauh lebih mahal. Kalau Indonesia harganya murah sekali. Labanya jauh lebih besar memindahkan smelter ke Indonesia. Kalau di negeri asalnya dia bayar PPN, macam-macam, di sini nggak," terang Faisal.

Lebih lanjut, Faisal pun menyindir perlakuan terhadap pengusaha smelter, yang bahkan tetap bisa melenggang, membawa pekerja asing masuk ke Indonesia walaupun di tengah kondisi pandemi cobvid-19.

Baca Juga: Sudah Jadi Tersangka, Putra Siregar Masih Bebas Keliaran Tak Ditahan Karena Hal Ini, Toko Ponselnya Bahkan Masih Tetap Beroperasi, Warga Ikut Bersaksi

"Katanya alih teknologi, training lah, omong kosong," ujarnya.

Faisal juga menilai, pelarangan ekspor bukan lah cara yang paling baik dalam kebijakan hilirisasi.

Baginya, lebih baik ada perhitungan yang lebih jelas dan komprehensif tentang tarif ekspor yang optimal, untuk bisa mendistribusikan keuntungan bagi negara dan nilai tambah yang bisa dirasakan masyarakat.

"Dalam konsep ekonomi, berapa sih nilai tambah yang diterima oleh warga Indonesia? baik pekerja, penambang maupun pemerintah? 5%, 95% lari ke China," seru Faisal.

Baca Juga: Coreng Dunia Hiburan Karena Terjerat Prostitusi Online Bertarif Rp 30 Juta, VS Kena Sindir Ketua Umum Manajer Artis: Kasihan Artis Lain yang Beneran Kerja!

Dia pun lantas mengkritisi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, seolah melebihi Menteri ESDM Arifin Tasrif.

"Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib. Nanti yang untung siapa? Indonesia nggak dapat apa-apa. Saya nggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut," kata Faisal.

Terkait dengan industrialisasi, dia pun berpandangan kebijakan hilirisasi tambang malah bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok.

Menurutnya, Indonesia pun tidak menjadi bagian dari rantai supply global yang berbasis peningkatan nilai tambah.

Baca Juga: 18 Tahun Merdeka dari NKRI, Timor Leste Justru Terjun ke Jurang Negara Termiskin di Dunia, Lihat Provinsi Sebelahnya, Bumi Flobamara Makin Makmur Bersama Indonesia

Faisal pun menyoroti kepercayaan diri Luhut Binsar yang sangat yakin Indonesia bisa menjadi pabrik baterai terbesar di dunia, khususnya dalam industri mobil listrik.

Pasalnya, industri baterai akan tumbuh di tempat yang sudah banyak menggunakan baterai atau mobil listrik.

Faisal pun tak yakin Indonesia benar-benar akan menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia.

"Nah Pak Luhut Mimpi, mau bikin industri baterai terbesar di dunia ya hampir mustahil. Jadi produsen baterai terbesar di dunia? omong kosong. Negara dapat apa? nggak dapat apa apa, kecuali heboh-hebohnya," pungkas Faisal.

Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Kritik Luhut, Faisal Basri sebut hilirisasi tambang hanya topang industri di China.

(*)