Gridhot.ID - Sejenak, mari bayangkan hal ini.
Tahun 2030, tentara China berhasil merebut sebuah pulau milik Jepang di Laut China Timur.
Jepang pun mengirim gugus tugas amfibi untuk mengambil alih pulau tersebut, kemudian armada perang AS datang untuk membantu Jepang sembari menghindari peperangan dengan armada perang China.
Bisakah itu terjadi?
Menurut pakar simulasi perang Center for a New American Security (CNAS) di Washington, hal tersebut sangat tidak mungkin.
Sangat tidak mungkin bagi militer AS terlibat tanpa tentara AS dan China saling menembaki satu sama lain.
Simulasi perang tersebut diberi judul "A Deadly Game: East China Sea Crisis 2030" yang dilaksanakan pada 20 Juli kemarin melalui konferensi online via Zoom, dengan staff CNAS tunjukkan pilihan kepada partisipan publik yang nantinya akan memilih strategi mana dari strategi China dan AS/Jepang yang paling efisien dan bisa memenangkan pertarungan itu.
Susanna Blume, direktur pertahanan CNAS, mengatakan jika "risikonya tinggi" kepada 400 penonton simulasi tersebut yang sebagian besar berasal dari AS, Kanada dan Inggris.
"Siapapun yang menang dalam perang ini akan menguasai dan membentuk wilayah Asia-Pasifik untuk dekade berikutnya."
Skenario yang mungkin terjadi
Tahun 2030, armada China menaruh 50 tentara di pulau Uotsuri Jima, salah satu pulau bagian Senkakus, kepulauan milik Jepang yang berada di Laut China Timur.
Kepulauan Senkaku juga diklaim oleh China, yang kemudian mendeklarasikan 50 mil (80 km) Zona Eksklusif di sekitar kepulauan Senkaku.
Beijing kemudian kirimkan kapal perang, kapal selam, kapal permukaan dan drones, serta didukung dengan rudal balistik yang diarahkan dari pulau China.
Tim Jepang melibatkan kapal serang amfibi, pengawal permukaan, kapal selam, pasukan khusus dan marinir yang didukung dengan jet tempur di pangkalan militer Okinawa.
Tim Jepang juga dikawal dengan dua kapal induk AS, kapal selam, jet tempur siluman dan kapal pembom.
Aturan mainnya cukup sulit, AS hanya hadir untuk membantu Jepang karena keduanya memiliki pakta pertahanan, sembari menghindari tembak-tembakan dengan tim China.
Baca Juga: Lama Menghilang dari Layar Kaca, Aktris Cantik Mendadak Jadi Seorang Pastor, Begini Kisahnya
Untuk komandan China, perintahnya sangat sederhana: menembak pasukan Jepang yang masuk ke Zona Eksklusidd tanpa menyerang AS.
Apa yang terjadi selama beberapa putaran simulasi adalah serangkaian serangan dan serangan balasan yang memperbutkan posisi.
Kedua belah pihak berhati-hati menavigasi garis tipis antara pencegahan dan permusuhan.
Tim Jepang dan AS serta tim China mempertaruhkan tujuan mereka: China akan mengirimkan pesan yang kuat bahwa Jepang harus mundur, sedangkan Jepang bertujuan untuk memaksa penarikan China.
Namun bagaimana menyeimbangkan tujuan dan aturan keterlibatan yang hampir kontradiktif bagi AS? Pilihan pertama adalah Jepang dan AS mempersiapkan kemungkinan serangan massal rudal anti-kapal dari China ketika armada Jepang masuk ke Zona Eksklusif.
Saat itu, haruskah kapal pertahanan udara Aegis AS melindungi armada Jepang dari rudal China, atau AS menggunakan serangan dunia maya dan ciptakan gangguan untuk mengganggu tautan komando dan kontrol China?
Baca Juga: Cemburu Lihat Nella Kharisma Goyang di Depan Orang Lain, Dory Harsa: Terus, Terus Sampai Bawah
Voting pun mendapatkan hasil dengan 60-40% suara, publik memilih untuk mengganggu tautan komando China.
China kemudian bisa jadi lakukan pendekatan yang berhati-hati, ada pilihan antara serangan rudal terhadap armada Jepang dan menggunakan serangan siber untuk mengganggu hubungan komando Jepang, banyak yang lebih memilih untuk serangan siber.
Melihat kondisi ini, tim Jepang dan AS akan lebih menderita daripada China karena tim gabungan lebih bergantung kepada komunikasi yang berfungsi dengan lancar.
Sebenarnya pola perang ini pernah tercetak dalam pola sejarah, yaitu ketika kapal perusak Jepang memasuki Zona Eksklusif, kapal perang Tiongkok memulai serangan dan menenggelamkan banyak kapal Jepang dengan rudal jelajah.
Kapal perusak Jepang kemudian membalas dengan menghancurkan kapal selam Tiongkok, sedang kapal selam lainnya bersembunyi: kapal selam China mencoba menemukan kapal selam Jepang, dan kapal selam AS mencoba menemukan kapal selam China.
Alih-alih melawan China dengan armada kapal, tim Jepang dan AS akan memilih kekuatan udara dengan jet tempur siluman F-22 dan F-35 milik AS, bergabung dengan F-35 dan F-15 Jepang untuk menghancurkan pesawat China yang terbang di dekat Senkaku, termasuk drone China.
Drone China akan menyampaikan data penargetan rudal balistik anti-kapal berbasis darat.
Kemudian, karena China mengalami kerugian besar pada kapal dan pesawat mereka, pemimpin China kemudian memilih menyerang dua kapal induk AS dengan rudal.
Di akhir pertandingan, situasi kemungkinan menjadi buntu, China mengalami kekalahan besar tapi masih mempertahankan kendali atas Uotsuri Jima.
Namun fokus siapa yang menang bukanlah tujuan utama simulasi Pentagon ini.
Simulasi ini memiliki banyak kekurangan karena pertama, ada terlalu banyak faktor subjektif atau sewenang-wenang yang nyatakan bangsa tertentu yang gunakan strategi tertentu akan menang dalam kehidupan nyata.
Kenyataannya, ada faktor-faktor yang belum dihitung seperti logistik, operasi informasi untuk membentuk opini publik, dan ketegangan politik dalam kepemimpinan China dengan aliansi AS-Jepang.
Perlu diingat juga ada beberapa kemungkinan yang tidak terjadi seperti armada kapal induk China yang terus bertambah, serta kapal induk Jepang yang dipersenjatai dengan pesawat tempur F-35.
Tentu saja, ada faktor lain, pemimpin ketiga negara akan sangat sadar kemungkinan melibatkan senjata nuklir untuk ini.
Namun simulasi ini membuka informasi baru, contohnya China memiliki keuntungan pembom darat dan rudal mereka dan keuntungan menembakkan peluru kendali besar-besaran, dan kemudian mempersenjatai kembali pembom dan peluncur rudal darat dari pangkalan yang berlokasi di daratan.
Sedangkan untuk AS, yang pangkalan militernya jauh sepertti Guam atau harus terbang dari Okinawa yang berada di titik tengah pertempuran, waktu mengeluarkan persenjataan mereka adalah keputusan yang penting, karena begitu F-35 menembakkan misilnya, akan diperlukan berjam-jam untuk kembali ke pangkalan, mengisi senjatanya lagi dan kembali ke zona pertempuran.
Hal inilah yang jadi salah satu pertimbangan Menteri Pertahanan AS Mark Esper untuk membangun pangkalan militer AS tambahan di Pasifik.
Paling signifikan dari simulasi ini adalah bagaimana permusuhan akan terus meningkat: awalnya China dan AS memasuki konflik dengan niat untuk tidak saling menyerang tapi ada banyak sekali kemungkinan di akhir permainan mereka saling menghancurkan kapal dan pesawat satu sama lain, dan China merasa harus melontarkan rudal ke pangkalan militer AS di Okinawa.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang selanjutnya menempati Gedung Putih tahun depan? Dengan pemilu AS di depan mata, kondisi dunia bisa berubah sangat cepat.
Pemerintahan Trump telah janjikan dukungan AS kepada Jepang atas sengketa kepulauan Senkaku, dan kemungkinan besar pemerintahan baru akan memilih mempertahankan persekutuan tersebut.
Namun melihat risiko yang ada, mendukung Jepang dalam konflik Tiongkok-Jepang berisiko tinggi terhadap pertempuran AS dan Tiongkok, dan jika serangan dua negara sudah dimulai, sangat sulit untuk dihentikan.
Bahkan, hal tersebut kemungkinan besar bisa ciptakan Perang Dunia Ketiga.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Jangan Melulu Pelototi Laut China Selatan, Tiongkok Rupanya Mulai Persiapkan Armadanya Kuasai Laut China Timur, Simulasi Perang Ini Gambarkan 'Bencana Timbal Balik' yang akan Terjadi: Bisa Jadi Perang Dunia 3"