Terutama terhadap kemungkinan timbulnya "alergi", misal mencret.
"Kalau pun babi hutan dimasukkan dalam program pemberian pakan, ya, harus mempertirhbangkan segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas penyediaannya," kata Atje.
Satu lagi solusi yang bisa dilakukan, yakni pengurangan satwa. Semisal, satwa dikembalikan ke alam. Tentu saja dipilih yang sehat dan dianggap mampu beradaptasi dengan lingkungan "baru"nya.
Penghematan dengan cara mengurangi kebiasaan makan satwa juga diterapkan di Taman Safari Indonesia (TSI), di Cisarua, Bogor, seperti diakui Drs. Jansen Manansang, M.Sc, saat itu salah satu direktur TSI.
Hewan karnivora (pemakan daging), seperti harimau, singa, buaya, ular, burung elang, dan satwa buas lain, yang biasanya diberi makan tujuh hari, kini berkurang menjadi lima hari makan.
Bagi harimau dan singa yang diberi daging 4 - 5 kg/hari, pengurangan jumlah hari makan tidak mempengaruhi kehidupan mereka, bahkan tampak lebih gesit dan bersemangat.
Hal yang sama juga dilakukan di KB Gembiraloka, Yogyakarta. Macan terpaksa "berpuasa" dengan hanya diberi makan dua hari sekali.
Langkah ini, katanya, meniru KB Singapura yang memberi makan kepada macan atau singa dua hari sekali. Hanya saja, daging yang diberikan tergantung jenis daging mana yang paling murah.
MENCARI BAPAK ANGKAT
Di Ragunan satwa jenis herbivora, (pemakan tumbuhan), semisal gajah, tidal terlalu terimbas krisis moneter.
Pasalnya, sebagian besar pakannya, yakni rumput, ditanam sendiri di sebagian area seluas 135 Ha di dalam teritorial KB Ragunan.