GridHot.ID - Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Peristiwa itu bahkan hingga kini masih diperingati.
Ya, setiap tanggal 30 September, Indonesia memperingati hari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut ingin mengkudeta bangsa dari pemerintahan yang sah.
Gerakan 30 September yang dilakukan PKI, dengan pembunuhan beberapa jenderal, tokoh keagamaan, menjadi sejarah kelam di Tanah Air.
Para pemimpin-pemimpin yang dihabisi nyawanya oleh PKI, dikubur di lubang buaya, seperti yang diketahui pada umumnya.
Dampak dari gerakan 30 September, bukan hanya dirasakan oleh keluarga korban pembunuhan.
Warga-warga yang disebut ikut terlibat dengan gerakan 30 September merasakan dampaknya sampai saat ini.
Seperti salah satu perempuan, bernama Pipit Ambarmirah, ia adalah wanita yang lahir dari ibu dan ayah yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Orang tuanya ditahan pada tahun 1965, karena ikut menari genjer-genjer untuk kegiatan di kampung.
Akibatnya ia dituduh sebagai anggota PKI.
"Makanya kalian tidak usah ikut-ikutan belajar politik kalau tidak tahu (resikonya), di tahun 1965 ada banyak orang yang tidak bersalah.
Tapi karena dia ikut tanda tangan, absen di suatu acara tertentu, dia kemudian harus merasakan penjara dan mendapat stigma sampai sekarang.
Anak cucunya tidak bisa menjadi apapun, tidak bisa menjadi pegawai negeri, tidak bisa menjadi tentara, pokoknya dia tidak bisa menjadi apapun di Indonesia," ungkap Pipit kecut.
Pipit Ambarmirah mewarisi dosa turunan dari orang tuanya, yang diduga ikut terlibat PKI.
Meski mereka menyangkal tidak mengerti yang mereka lakukan dulu adalah sebuah kesalahan.
Seperti yang tertera pada kanal YouTube BBC News Indonesia, mengangkat mengenai Derita, stigma, dan 'dosa turunan' anak cucu mantan tapol '65 (6/11/2019).
Deborah Oni Ponirah menuturkan kehidupannya setelah ikut menari genjer-genjer.
Deborah Oni Ponirah bersama sang suami Leo Mulyono ditahan dalam penjara tanpa pernah mendapat pengadilan karena diduga terlibat PKI.
Oni Ponirah ditangkap karena melantunkan lagu Genjer-Genjer, yang kala itu ditampilkan dalam pentas seni.
Setelah penampilan, ia mengalami banyak kejadian tidak menyenangkan.
Dari pelecehan seksual hingga berpindah-pindah rumah tahanan hingga tahun 1979.
Sang anak, Pipit baru mengetahui bahwa ayah-ibunya adalah eks-tahanan politik 1965.
Rahasia tersebut sengaja disembunyikan oleh kedua orang tuanya selama belasan tahun.
Sampai usianya menjelang 17 tahun tabir terbuka, rahasia yang selama ini tertutupi jelas adanya.
Deborah Oni Ponirah dan Leo Mulyono disematkan sebagai penjahat seumur hidup.
Karena melakukan kesalahan yang mereka sendiri tidak mengetahui.
Namun mereka lebih mengkhawatirkan nasib anaknya yang sering mendapatkan deskriminasi dengan sebutan 'anak kafir'.
Karena mendapatkan dosa turunan, lahir dari rahim seorang perempuan yang disebut terlibat PKI.
Oni Ponirah menjelaskan dirinya tidak mengetahui tentang 'lubang buaya'.
Namun ia tetap dipukuli dengan tongkat.
Padahal Oni menerangkan, ia benar-benar tidak mengetahui yang ditanyakan kepadanya.
Ketika diinterogasi, ia diduga seorang 'Gerwani' namun ia menyangkal.
Untuk membuktikan ia tidak terlibat, tubuhnya diperiksa karena 'Gerwani' disebut memiliki cap pada tubuh.
Untuk membuktikan Oni bukan seorang 'Gerwani' ia ditelanjangi.
Namun ia hampir diperkosa, beruntung dicegah oleh seorang pria yang ia tidak kenal.
Pipit menceritakan, dirinya tidak mengetahui orang tuanya adalah diduga terlibat PKI.
Sebelum usia 17 tahun, ia sering menonton film G30SPKI yang memang diwajibkan untuk ditonton.
Ia juga sempat membenci PKI setelah menonton film PKI.
Namun ternyata ia sangat terkejut dan sempat shock mengetahui orang tuanya disebut terlibat PKI.
Berbagai stigma menghantui dirinya, keluarganya, dosa turunan itu tidak bisa berubah dan akan terus diteruskan ke anak cucu. (Serambinews.com/Syamsul Azman)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judulDisebut Terlibat PKI Karena Menari Genjer-Genjer, Ibu Warisi 'Dosa Turunan' ke Anak hingga Cucu(*)