Gridhot.ID- Ambisi China menguasai Laut China Selatan menciptakan ketegangan di kawasan tersebut.
Permainan geopolitik berisiko tinggi yang dimainkan China di Laut China Selatan tentu jelas terlihat.
Yang paling berbahaya secara ekologis adalah pembangunan pulau-pulau buatan China di Laut Cina Selatan, yang bergantung pada kapal keruk untuk mengaduk terumbu karang dan menutupinya dengan pasir dan kerikil untuk menciptakan daratan.
Sejak 2014, China telah mengubah7 terumbu karang yang sebagian besar di bawah air menjadi pulau buatan, termasuk pulau dengan landasan pacu yang cukup panjang untuk menyambut jet militer.
"Masalah terburuk dengan pembangunan pulau adalah efeknya permanen," kata John McManus, profesor biologi kelautan dan ekologi di Universitas Miami sebagaimana dilansir The Time.
Ahli biologi kelautan McManus, yang melakukan perjalanan penelitian ke Spratly awal tahun ini, memperkirakan bahwa metode ini telah menyebabkan kerusakan parah.
Pada 2013, tak lama setelah ia menjabat sebagai Presiden China, Xi Jinping mengunjungi Tanmen dan mengajak penduduk untuk melaut sebagai cara untuk menunjukkan semangat nasional mereka.
Milisi nelayan lokal telah berada di garis depan kampanye untuk mengambil alih Scarborough Shoal untuk China yang disengketakan.
(China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan untuk dirinya sendiri, melalui garis sembilan putus berbentuk U yang tercetak di petanya)
Tetapi Xi ingin nelayan patriotik berbuat lebih banyak, termasuk mengangkut bahan bangunan untuk upaya pembangunan pulau.
Penduduk Tanmen sejak itu menurut.
Mereka juga telah berkelana ke pinggiran terjauh di Laut China Selatan, yang oleh Kementerian Luar Negeri China dianggap sebagai "tempat penangkapan ikan tradisional", meski perairan ini menyentuh pantai negara-negara Asia Tenggara.
Pulau buatan yang dibuat China jelas memiliki fungsi untuk memperkuat klaim China atas wilayahnya yang kaya.
Di sana, mereka membangun pangkalan militer lengkap dengan lapangan terbang dan instalasi rudal.
Di kelompok kepulauan Spratly lah instalasi yang paling penting berada.
Faktanya, para ahli biologi mengatakan bahwa meski terumbu karang bisa perlahan pulih dari degradasi akibat panen kerang, kampanye pembangunan pulau Beijing berarti ekosida permanen.
Upaya perbanyakan karang kemungkinan hanya akan menggantikan sebagian kecil dari terumbu yang rusak.
Kehancuran yang disebabkan oleh pemanenan kerang raksasa skala industri dapat menjelaskan kontradiksi yang selama ini meresahkan ahli biologi kelautan yang mempelajari Laut Cina Selatan.
Pejabat dan ilmuwan China telah berulang kali menggambarkan ledakan bangunan Laut China Selatan di Beijing sebagai ramah lingkungan.
Bagaimana ini bisa terjadi?
McManus yakin ia tahu jawabannya: terumbu yang terkena dampak telah rusak akibat panen kerang raksasa sehingga para pembangun pulau di China tidak dapat disalahkan atas kerusakan awal.
Selain untuk berjaga-jaga dari perang habis-habisan melawan China, pembangunan pulau buatan beserta pangkalan militernya jelas menunjukkan kekuasaan China atas kontrol laut.
Namun semua tak berjalan sesuai mimpi indah China.
The Economist melaporkan bahwa pernah ada desas-desus yang mengungkap runtuhnya beton pulau baru yang dibuat.
Fondasinya kemudian berubah menjadi spons pada saat-saat iklim tidak bersahabat.
Secara berkala, Angkatan Laut Amerika Serikat melakukan manuver kapal perang dekat pangkalan pulai China.
Jika perang antara China dan Amerika meletus di kawasan Pasifik barat, pangkalan pulau utu kemungkinan menjadi target AS.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul: "Bak Senjata Makan Tuan Akibat Keserahakannya Sendiri, Pulau Buatan China di Laut China Selatan Ini Terancam Tenggelam, Padahal Fungsinya Amat Membahayakan Amerika."
(*)