Find Us On Social Media :

Jadi Negara yang Paling Diincar Karena Harta Karunnya, Indonesia Yakin Ogah Ikutan Adu Otot di Laut China Selatan, Perkuat Pariwisata Jadi Senjata Jokowi Pertahankan Natuna

Indonesia ogah ikutan adu otot di Laut China Selatan

Gridhot.ID - Konflik Laut China Selatan menjadi salah satu konflik yang paling bisa membawa bumi ke era perang dunia ketiga.

Adu otot dan senjata di wilayah perairan sengketa tersebut membuat seluruh negara yang bersinggungan waspada.

Tak terkecuali tentu saja Indonesia.

Hingga saat ini, Indonesia tegas menolak terlibat sengketa di Laut China Selatan.

Bagi Indonesia, tidak ada alasan untuk memperebutkan wilayah tersebut, karena Natuna Utara jelas sah milik Indonesia.

Klaim China atas perairan di Laut China Selatan kian meresahkan.

Baca Juga: Akui Bahagia Meksi Jadi Duda, Gading Marten Singgung Soal Wanita yang Merepotkan dan Jadi Beban Dalam Hidupnya, Apa Maksudnya?

Terlebih AS di era pemerintahan Donald Trump gencar menolak klaim China atas wilayah tersebut.

Namun Indonesia berulang kali menegaskan posisinya di Laut China Selatan adalah sebagai negara non-penggugat.

RI enggan memihak kubu manapun, baik China, maupun AS, sebab Indonesia tidak memiliki kepentingan di dalamnya.

Apa yang dilakukan Indonesia saat ini adalah terus mengamankan wilayah lautnya di kawasan Natuna.

Kendati demikian, meski RI enggan terlibat dalam urusan di Laut China Selatan, hal itu tak menghentikan China untuk menyeret Indonesia dalam sengketa di wilayah tersebut.

Menurut The Interpreter, China telah berulang kali mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017.

Baca Juga: Bolak-balik Dilirik Politisi, Hotman Paris Tolak Tawaran Terjun ke Dunia Politik, Sang Pengacara: Hotman Benci Kemunafikan

Di dalamnya ada negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, tetapi Indonesia juga menjadi negara unggulan yang mendapat tawaran itu.

China mengusulkan pembentukan Spratly Resorce Management Authority (SRMA).

Dengan anggota tak hanya negara-negara penuntut sengketa, di antara Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam hingga Indonesia.

Huaigao Qi dari Universitas Fudan berpendapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun lalu di Journal of Contemporary East Asian Studies, China memiliki tujuan memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil.

Serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi persaingan China-AS di wilayah yang disengketakan.

Namun meski memberi tawaran Indonesia agar bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar komentar dari RI.

Baca Juga: Foto Jadul Syahrini Beredar Luas, Netizen Soroti Perubahan Mencolok Penampilan Inces Sebelum dan Sesudah Menikah

Penerbitan serangkaian catatan diplomatik China ini, jelas membuat Indonesia mewaspadai niat China.

Indonesia tak boleh terlibat dalam proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan.

Posisi Indonesia jelas bahwa ia bukan penuntut apa pun di Laut China Selatan, sehingga tidak ada pembatasan maritim yang tertunda dengan China.

Kendati demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan apa yang disebut klaim "sembilan garis putus-putus".

Indonesia secara konsisten menolak klaim China.

Putusan pengadilan internasional tahun 2016 menegaskan bahwa " sembilan garis putus-putus " China tidak memiliki dasar hukum kuat sesuai dengan hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia.

Baca Juga: Dulu Hanya Berani Melirik Ririn Ekawati dari Jauh, Ibnu Jamil: Ya Begitu Deh, Judes...

Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apapun dengan China.

Tak hanya itu, untuk menciptakan pembangunan bersama di wilayah yang disengketakan, Tiongkok diharuskan memiliki klaim yang sah berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Menjalin kerja sama dengan China akan sama saja dengan memvalidasi klaim Laut China Selatan-nya, sebuah langkah yang akan sangat bertentangan dengan kepentingan Indonesia.

China tidak pernah menanggapi permintaan diplomatik Indonesia yang meminta klarifikasi di sembilan garis putus-putus.

Dalam artikelnya, Huaigao menulis bahwa Beijing dengan sengaja mempertahankan ambiguitas tentang koordinat dan dasar hukum dari garis sembilan garis putus-putus dalam upaya untuk menghindari eskalasi dalam sengketa dan menjaga hubungan dengan penuntut ASEAN.

Bahkan jika China akan mengambil tindakan militer lebih lanjut di wilayah yang disengketakan, hubungannya dengan penuntut ASEAN akan memburuk.

Baca Juga: Blak-blakan, Nikita Mirzani Ungkap Pria-pria yang Pernah Berhubungan Badan Dengannya Kepada Ghofar Hilman, Nyai: Kamu Tahu Juga Namanya

Tidak ada alasan untuk mengharapkan kebijakan ini agar sembilan garis putus-putus akan segera berubah.

Selama masih ada ambiguitas tersebut, tidak ada kemungkinan itikad baik dari China dalam menegosiasikan usulan pembangunan bersama dengan Indonesia.

Berdasarkan hukum internasional, Indonesia berhak atas hak berdaulat atas ZEE-nya di perairan sekitar Pulau Natuna, dan berhak atas sumber daya yang ada di daerah tersebut.

Jika Indonesia menyetujui proposal pembangunan bersama di bawah SRMA, kemungkinan besar Indonesia akan kehilangan hak kedaulatannya di dalam ZEE.

Hal itu karena akan ada "Otoritas Manajemen Sumber Daya" untuk mengatur eksplorasi wilayah pengembangan bersama.

Pasca rentetan insiden dengan China di Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo memperkuat posisi Indonesia di kawasan ini dengan fokus pada tiga program utama: pariwisata bahari, energi dan pertahanan.

Baca Juga: Bikin Geger Warga Usai Hujan Reda, Uang Puluhan Juta Banjiri Saluran Irigasi, Ada yang Dapat Segepok

Indonesia memang lebih baik fokus mengembangkan Kepulauan Natuna sendiri, daripada bergabung dengan China.

Artikel ini telah tayang di Sosok.ID dengan judul Tegas Ogah Memihak dan Terlibat Baku Hantam, Indonesia malah 'Dikadali' China agar Nyemplung dalam Sengketa Laut China Selatan.

(*)