"Secara khusus menggunakan teknik penyuntingan gen CRISPR untuk memanipulasi DNA manusia dengan cara yang dapat meningkatkan kinerja," imbuhnya.
"Jadi bayangkan seorang penembak jitu yang bisa melihat dua kali lebih jauh dari manusia normal, atau tim komando yang bisa bertahan hanya dalam tiga jam tidur dan memiliki kekuatan super," paparnya.
Namun kemungkinan menakutkan ini tidak mungkin membuahkan hasil dalam waktu dekat, tambah Dilanian.
"Saya pikir kita masih jauh dari itu, tetapi gagasan bahwa China sedang mempelajari hal-hal ini cukup mengganggu karena di Barat kami menganggap itu tidak etis," katanya.
"Teknik penyuntingan gen CRISPR digunakan untuk menyembuhkan kelainan genetik dan memperbaiki tanaman untuk makanan," jelasnya.
"Tetapi tidak untuk meningkatkan kinerja manusia karena manusia tidak benar-benar memahami implikasi dari gangguan gen dalam jangka pendek atau jangka panjang," katanya lagi.
Ratcliffe mengutip intelijen ini untuk menunjukkan bahwa dalam pandangannya, China tidak akan berhenti untuk menjadi kekuatan militer yang dominan.
Dilanian menambahkan bahwa AS mengandalkan komunitas intelijennya untuk informasi tentang kemajuan teknologi China seperti kecerdasan buatan dan komputasi kuantum.
Tetapi sebuah laporan baru-baru ini menemukan mata-matanya "tidak melakukan pekerjaan dengan baik".
Namun dengan lengsernya Trump dari Gedung Putih pada Januari, itu semua bisa berubah.