Gridhot.ID -Pemerintah Indonesia telahmulai vaksinasi Covid-19 pada Rabu (13/1/2021) yang diawali dari Presiden Jokowi.
Vaksin Covid-19 yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi adalah vaksin Sinovac yang berasal dari China.
Meski banyak pihak yang menantikan vaksin Covid-19 sebagai salah satu harapan keluar dari pandemi, namun tak sedikit masyarakat yang menolak.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pun menyatakan pemerintah terus memperbaiki sosialisasi pelaksanaan vaksinasi.
Ia memahami soal vaksin Covid-19 bisa menjadi hal yang sensitif, sehingga diperlukan strategi yang lebih baik untuk merangkul masyarakat.
"Saya paham bahwa ada salah satu wakil menteri yang mengucapkan hal-hal yang sangat sifatnya mengancam dan kita sudah dibicarakan di kabinet."
"Juga agar komunikasi publiknya lain kali lebih sifatnya merangkul," kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Kamis (14/1/2021) dikutip dari Kompas.com.
Budi mengatakan pemerintah perlu meyakinkan masyarakat untuk vaksin Covid-19. Sebab, vaksinasi sudah menjadi bagian dari program pemerintah dalam penanganan pandemi.
"Merangkul, mengajak, dan meyakinkan. Karena saya rasa itu bisa memberikan dampak yang lebih baik untuk mengajak rakyat untuk ikut program vaksinasi ini," ujarnya.
Bertalian dengan itu, Budi mengatakan pemerintah bakal secara masif menyosialiasikan vaksin Covid-19 lewat media-media mainstream atau media sosial.
Sumber-sumber yang kredibel di bidang kesehatan akan digunakan pemerintah untuk menepis hoaks soal vaksin Covid-19.
"Kami akan meminta sumber-sumber yang kredibel untuk bicara lebih banyak untuk menangkal hoaks," ucap Budi.
"Kami juga butuh dukungan bapak/ibu (anggota DPR) untuk bisa membantu mengomunikasikan ke seluruh konstituen di daerah," imbuhnya.
Sebelumnya, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan warga yang menolak vaksinasi dapat dijatuhi hukuman paling lama 1 tahun penjara.
Eddy mengatakan, vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.
"Ketika pertanyaan apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata Eddy dalam webinar yang disiarkan akun YouTube PB IDI, Sabtu (9/1/2021).
Melansir dari Kompas TV, Eddy meluruskan pernyataannya di sejumlah media online, terkait "Warga Tidak Mau Divaksin Bisa Masuk Penjara".
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini mengatakan pengutipan berita tersebut dinilai tidak utuh dan tendensius.
Menurut Eddy, perlu dijelaskan pertanyaan mendasar, apakah vaksinasi itu hak atau kewajiban?
Eddy pun merujuk paling sedikit kepada tiga (3) Undang-Undang.
Pertama, UU Kesehatan Nomor. 30 Tahun 2009 yang mana pada Pasal 53 ayat 3 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, dalam konteks ini vaksinasi adalah hak.
Kedua, merujuk pada UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam Pasal 14 ayat 1 dinyatakan "Bahwa barangsiapa dengan sengaja menghalangi pelaksaan penanggulan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu (1) tahun danatau denda Rp.1.000.000,00."
Ketiga, merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantia Kesehatan Pasal 93 yang pada dasarnya ancaman pidana berupa denda dan atau penjara maksimum Rp.100.000.000,00 dan atau satu (1) tahun penjara bagi setiap orang yang tidak mematuhi Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan".
"Bila merujuk kepada Undang-Undang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Karantina Kesehatan, maka vaksinasi ini merupakan kewajiban artinya ada konsekuensi hukum bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan," katanya.
Perlu dipahami bahwa baik UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, maupun UU Karantina Kesehatan adalah hukum administrasi yang diberi sanksi pidana sehingga disebut juga 'hukum pidana administrasi'.
Dalam konteks ini sanksi pidana bersifat ultimum remedium artinya sarana yang paling akhir digunakan untuk menegakkan hukum pidana, apabila pranata penegakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi.
Dengan begitu, kewajiban vaksin yang dicanangkan oleh pemerintah, jika ada warga masyarakat yang menolak divaksin tidak serta merta sanksi pidana itu diterapkan, namun pertama yang dilakukan adalah tindakan-tindakanyang bersifat persuasif.
"Dalam konteks ini sosialisasi mengenai arti pertingnya vaksin termasuk tingkat keberhasilan dan dampaknya menjadi sangat penting. Tegasnya bagi mereka yang menolak vaksin, dapat dijatuhi pidana tetapi tidak berarti harus dijatuhi pidana," tambah Eddy.
Dalam pelaksanannya, kewajiban vaksin ini juga diatur dalam Peraturan Daerah, Peraturan Gurbernur, maupun Peraturan Bupati/Walikota. Karena kondisi penularan wabah penyakit di masing-masing daerah berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena itu, sangat mungkin sikap terhadap kewajiban vaksin antara satu daerah dengan daerah lain berbeda.
Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam konteks kewajiban vaksin yang dicanangkan oleh pemerintah, hukum pidana berfungsi sebagai ultimum remedium atau upaya akhir yang dilakukan jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi.
"Harap diingat, ketika seseorang melaksanakan haknya, sedikit-banyaknya akan berbenturan dengan hak orang lain, sehingga dalam pelaksanaan hak, timbul kewajiban untuk menghormati hak orang lain," ujarnya.
Jadi, kata Eddy, kebijakan pemerintah yang mewajibkan vaksinasi adakah dalam rangka melindungi hak masyarakat secara mendasar untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara adil terlebih dalam situasi mewabahnya penyakit menular.
(*)