Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Sepasang suami istri ditangkap jajaran kepolisian Polda Metro Jaya.
Pasalnya, pasangan tersebut melakukan penipuan dengan modus proyek fiktif.
Bahkan demi melancarkan niat busuknya, pasangan ini nekat ngaku-ngaku sebagai menantu dari mantan pejabat tinggi Polri.
Melansir Kompas TV, mengaku sebagai menantu dari mantan pejabat tinggi Polri, pasangan suami istri ditangkap Polda Metro Jaya usai menipu seorang pengusaha dengan modus investasi.
Pelaku inisial D-K alias D-W dan K-A adalah pasangan suami istri yang menjadi tersangka penipuan investasi bodong saat dihadirkan dalam rilis yang digelar di gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Rabu (27/1/2021) siang.
Selain tersangka, dihadirkan pula sejumlah barang bukti di antaranya dokumen-dokumen perjanjian investasi dan bukti transfer serta KTP palsu.
Dalam menjalankan aksinya, untuk menyakinkan calon korbannya D-K mengaku sebagai mantan menantu dari salah satu pejabat petinggi Polri.
Tersangka menawarkan sejumlah invetasi di berbagai bidang seperti tambang batu bara dan pengelolaan lahan parkir.
Diketahui, D-K yang memalsukan kartu identitas ini berperan sebagai otak dan pelaku utama.
Sementara sang istri, K-A menerima hasil aliran dana yang kemudian dibelikan sejumlah properti seperti tanah dan rumah di kawasan elit.
Karena itu penyidik akan memberikan pasal tindak pidana pencucian uang.
Dalam kasus ini total ada tujuh tersangka, dua di antaranya adalah pasangan suami istri. Namun yang dilakukan penahanan terhadap Pasutri tersebut.
Sementara lima tersangka lainnya tidak karena terlibat secara pasif.
Dalam aksinya pelaku mampu menggasak uang korban sebesar 39 miliar rupiah.
Tersangka pasangan suami istri dikenakan pasal berlapis terutama pasal penipuan dan penggelapan serta pasal tindak pidana pencucian uang dengan sementara ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Dilansir dari TribunJakarta.com, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, tersangka DK menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) palsu saat menawarkan proyek fiktif kepada para korbannya.
"Setelah kita lakukan pendalaman, DK ini mengubah KTP-nya. Awalnya DK namanya, kemudian buat KTP palsu dengan nama DW," kata Yusri saat merilis kasus ini di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (27/1/2021).
DK juga menggunakan KTP palsunya untuk membuat perjanjian kerjasama dengan korban.
Selain itu, DK mencatut nama mantan Kapolri Jenderal (purn) Timur Pradopo. Kepada para korbannya, DK mengaku sebagai menantu Timur Pradopo.
"Dia mengaku menantu mantan salah satu petinggi Polri, sehingga dengan rayuannya korban kemudian ikut melakukan investasi," ujar Yusri.
Dalam kurun waktu Januari hingga Agustus2019, pasangan suami istri DK dan KA telah enam kali melakukan penipuan dengan proyek fiktif yang berbeda-beda.
"Ini kejadian sejak Januari 2019. Ada enam proyek fiktif yang ditawarkan kepada korban-korbannya," kata Yusri.
Proyek fiktif pertama adalah pembelian lahan di Karawang, Jawa Barat senilai lebih dari Rp 24 miliar pada Januari 2019.
Selanjutnya pada April hingga Mei 2019, kedua tersangka menawarkan korban dengan proyek fiktif penyedia bahan bakar industri berskala besar atau MFO. Nilai dari proyek fiktif tersebut mencapai Rp 4,3 miliar.
Masih di bulan yang sama, DK dan KA menawarkan proyek batubara. Korbannya diminta menyetorkan uang sebesar Rp 5,8 miliar.
"Kemudian ada juga proyek fiktif pengelolaan gedung parkir dan mall ternama di beberapa wilayah. Korban dimint menjadi sponsor dan dimintakan uang Rp 117 juta," ungkap Yusri.
Proyek fiktif kelima yaitu penyedia bahan bakar industri berskala besar atau MFO di terminal di kawasan Cilegon senilai Rp 3 miliar pada Juli 2019.
"Terakhir adalah proyek fiktif pembelian tanah di Depok. Tersangka ini berjanji di tanah tersebut akan dibangun masjid," tutur Yusri.
Selain pasangan suami istri DK dan KA, polisi juga menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka.
Mereka adalah FCT, BH, FS, DWI, dan CN. Namun, kelimanya tidak dilakukan penahanan.
Sementara itu, DK dan KA dijerat Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan atau Pasal 263 ayat 2 KUHP juncto Pasal 3, 4, 5 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. (*)