Gridhot.ID - Indonesia kini memang sedang fokus terhadap alat deteksi Covid-19 buatan UGM berjuluk GeNose.
Bahkan sudah banyak omongan positif yang membuat alat GeNose ini sangat dinanti-nanti rakyat.
Optimisme berlebihan tersebut nyatanya bisa berbahaya bagi Indonesia sendiri.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, ahli Epidemiologi dan Peneliti Pandemi dari Grriffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan agar Indonesia tak terlalu berlebihan terhadap temuan ini.
"Tentu optimisme itu harus dibangun dalam situasi pandemi, tetapi tetap harus realistis, karena optimisme berlebihan menjerumuskan kita dan itu sudah terjadi," kata Dicky.
Dirina mengingatkan sudah hampir setahun Indonesia menghadapi pandemi namun wabah corona tak bisa terkendali sama sekali.
Optimisme berlebihan malah bisa membuat masyarakat terbenam oleh euforia sehingga menyebabkan mereka lali untuk melaksanakan protokol kesehatan.
"Apresiasi itu tentu kita berikan, tapi adanya kritik itu bukan berarti kita tidak mengapresiasi. Tetapi di dalam dunia ilmiah, kritik itu dicari untuk memperkuat riset," kata dia.
Dirinya mengkhawatirkan kalau GeNose bisa saja membuat masyarakat lengah dan dengan santainya melakukan mobilisasi.
Dicky membongkar kalau deteksi napas ini nyatanya bukanlah hal baru.
"Dan saya sendiri pun di Australia ya, untuk tes napas itu bukanlah hal baru, sebab tes untuk influenza pun sudah ada wacana riset (tes napas) itu," imbuhnya.
Dicky menambahkan kalau butuh banyak sekali penelitian untuk bisa menyempurkan GeNose.
"Ditambah lagi jika dikaitkan dengan Covid-19, sebenarnya Coronavirus itu sendiri ada tujuh spesiesnya, nah ini harus memastikan apakah ini bisa membedakan dengan 4 (coronavirus) lain yang sudah endemik. Sehingga tidak terjadi, kesalahan kita dalam upaya untuk skrining," jelasnya.
Dirinya mengatakan kalau di Eropa dan Amerika yang sudah duluan menggaungkan tes napas malah sampai sekarang belum menggunakan alat tersebut sebagai alat pendeteksi utama.
Bahkan dikatakannya belum ada negara yang menggunakan deteksi napas untuk jadi strategi penting penanganan kasus Covid-19.
"Berbasis dari risetnya sendiri, dia (GeNose) sudah berbasis mesinnya sudah dimodifikasi dalam realita atau kondisi rumah sakit. Tentu rumah sakit dan populasi umum itu berbeda," kata Dicky
Sementara itu di sisi lain, Satgas penanganan Covid-19 juga menegaskan kalau GeNose tak akan bisa menggantikan tes PCR.
Dikutip Gridhot dari Kontan, Jubir Satgas penanganan Covid-19 Wku Adisasmito mengaktan kalau PCR tetap jadi yang utama untuk mendiagnosis.
"Perlu diingat bahwa metode geNose berfungsi untuk screening dan tidak bisa menggantikan PCR yang berfungsi untuk diagnosis," ujar Wiku, dikutip dari tayangan di kanal YouTube BNPB, Jumat (29/1).
GeNose sendiri dilaporkan sebelumnya sudah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan dan bakal digunakan di stasiun kereta hingga terminal mulai 5 Februari 2021 nanti.
(*)