GridHot.ID - Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra divonis hukuman 4 tahun dan 6 bulan pidana badan dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan penjara.
Melansir Tribunnews.com, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Djoko Tjandra terbukti menyuap dua jenderal polisi terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Vonis Djoko Tjandra ini lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan penjara.
"Menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ucap Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis saat membacakan amar putusan, Senin (5/4/2021).
Sementara itu, dilansir dari Kompas.com, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, terdakwa kasus suap Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra layak dihukum penjara seumur hidup.
Djoko Tjandra merupakan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice dan kasus kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
“Padahal, model kejahatan yang dilakukan oleh Djoko Tjandra layak untuk dijatuhi vonis seumur hidup,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (5/4/2021).
Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ia dianggap terbukti menyuap sejumlah aparat penegak hukum. Kurnia menuturkan, persoalan vonis terhadap Djoko terletak pada regulasi hukum.
Sebab, berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pemberi suap hanya dapat diganjar hukuman maksimal lima tahun penjara.
Sementara, Kurnia mengatakan, selain telah melarikan diri dari proses hukum, Djoko Tjandra juga terbukti menyuap penegak hukum.
Mulai dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo hingga Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Bahkan, saat menjadi buron, Djoko Tjandra dengan mudah memasuki wilayah Indonesia untuk mengurus pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) di pengadilan.
Oleh sebab itu, Kurnia mengusulkan revisi UU Tipikor. Ia menilai UU Tipikor perlu mengatur secara khusus mengenai pemberian suap kepada penegak hukum.
“Misalnya memasukkan pidana penjara maksimal seumur hidup agar ke depan, jika ada pihak yang melakukan perbuatan sama seperti Djoko Tjandra, dapat dipenjara dengan hukuman maksimal,” kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, surat perintah supervisi yang diterbitkan oleh KPK hanya sekadar formalitas belaka.
“Sebab, sampai saat ini praktis tidak ada hal konkret yang dilakukan KPK terhadap perkara Joko S Tjandra,” ujar Kurnia.
Kurnia mengatakan, seharusnya KPK menyelidiki dan menyidik pihak-pihak lain yang belum diusut oleh kejaksaan atau kepolisian.
Misalnya, menelisik pihak yang berada di balik Pinangki Sirna Malasari sehingga bisa bertemu dan menawarkan bantuan kepada Djoko Tjandra.
“Hal itu penting, sebab, sampai saat ini ICW masih meyakini masih ada oknum-oknum lain yang belum tersentuh oleh kejaksaan maupun kepolisian,” tutur Kurnia.
Dalam kasus fatwa MA, Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap Jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500.000 dollar Amerika Serikat. Suap diberikan melalui perantara yakni Andi Irfan Jaya.
Pengurusan Fatwa MA itu bertujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun penjara atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Sementara dalam kasus red notice, Djoko Tjandra dinilai memberi suap kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte sejumlah 200.000 dollar Singapura dan 370.000 dollar Amerika Serikat.
Kemudian, 100.000 dollar AS kepada mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.
Menurut jaksa, uang itu diberikan agar Napoleon dan Prasetijo membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.(*)