Penelitinya Orang Asing, Data Penelitian Vaksin Nusantara Nyatanya Disimpan di Server Amerika Serikat, BPOM: Tidak Dapat Ditunjukkan Izin Penelitian...

Jumat, 16 April 2021 | 06:13
Sonora.ID/Stefani Windi

Ilustrasi vaksinasi.

Gridhot.ID - Vaksin Nusantara kini masih terus menjadi sorotan.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Vaksin ini terus menuai polemik dari beberapa pihak.

Epidemiolog UI Sampai meminta agar Kemenkes berani tidak mendanai vaksin Nusantara.

Kini ada fakta terbaru yang terungkap mengenai vaksin nusantara tersebut.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengungkapkan, data-data penelitian vaksin sel dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara, tersimpan di server Amerika Serikat.

"Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form menggunakan sistem elektronik."

"Dengan nama redcap cloud yang dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika," ungkap Penny lewat keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).

Dikutip Gridhot dari Warta Kota, Ia melanjutkan, kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA.

Baca Juga: Terawangannya Hampir Jarang Meleset, Mbak You Kembali Bikin geger Netizen dengan Ramalannya Soal Gempa, 3 Wilayah di Pulau Ini Terancam Amblas

Perempuan berhijab ini menuturkan, semua komponen utama pembuatan vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini, diimpor dari AS, seperti antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan.

Jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia, kata Penny, membutuhkan waktu lama.

Mengingat sampai saat ini Industri farmasi yang bekerja sama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, sehingga butuh waktu 2– 5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia.

Metode pembuatan dan paten dimiliki oleh AIVITA Biomedica Inc. USA, sekalipun telah dilakukan transfer of knowledge kepada staf di RS Kariadi, tetapi ada beberapa hal yang masih belum dijelaskan terbuka, seperti campuran medium sediaan vaksin yang digunakan.

"Pelaksanaan uji klinik ini dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc. USA, yaitu orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subjek orang Indonesia."

"Tidak dapat ditunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia," jelas Penny.

Baca Juga: Diamini Melaney Ricardo Jika Benar-benar Jodoh, Herjunot Ali Ngaku Udah Ikhtiar Ingin Berjodoh dengan Luna Maya: Gua Maunya Begitu

Penny mengatakan, uji klinik fase 1 mengungkapkan sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD), meskipun dalam grade 1 dan 2.

Seluruh subjek mengalami KTD pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg, dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

"KTD yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal," beber Penny.

KTD grade 3 pada 6 subjek, papar Penny, rinciannya adalah 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.

KTD grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik.

Namun berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadiantersebut.

Penelitian vaksin dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr Kariadi, dan Universitas Diponegoro.

Baca Juga: Singgung Soal 'Presiden Masuk Surga' Gegara Pindahkan Ibu Kota, Gubernur Kaltim Langsung Dapat Peringatan dari Jokowi: Apalagi tuh Pak Isran?

Penelitian ini disponsori oleh PT Rama Emerald/PT AIVITA Indonesia, bekerja sama dengan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.

Disebutkan, vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran:

- Sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang;

- Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA;

- GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi - USA.

Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA, yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi yang memenuhi standar GMP.

Agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik (tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik yang baik).

Pada pelaksanaan uji klinik, pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA.

Baca Juga: Kokoh Tayang Terus Meski Sudah Ratusan Episode, Sinetron Ikatan Cinta Kini Pecahkan Rekor Audiens Share Nasional Tertinggi, Segini Skornya Sampai Tercatat di MURI

Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP Dr Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf, untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. USA.

Sementara, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Profesor Zubairi Djoerban menilai, vaksin Nusantara sulit mendapat kepercayaan ahli maupun masyarakat.

Terlebih, sikap peneliti di baliknya memiliki kesan memaksakan pengembangan vaksin yang digadang-gadang buatan anak negeri ini.

Hal itu diungkapnya dalam akun Twitter @ProfesorZubairi yang dikutip Tribunnews, Kamis (15/4/2021).

"Tanpa bermaksud tendensius, saya ingin pihak Vaksin Nusantara menjelaskan kepada publik, kenapa tetap ingin melaksanakan uji klinis fase dua."

"Padahal BPOM belum keluarkan izin untuk itu."

"Relawannya pun DPR, yang sebenarnya sudah menjalani vaksinasi kan? Ini benar-benar ganjil," tambah Zubairi.

Baca Juga: Bukti Bahagia Itu Sederhana, Bocah-bocah Ini Viral Kegirangan Serbu Minimarket Pertama yang Ada di Desanya, Warga: yang Beli Satu, Teman-temannya Nganter

Ia berharap, peneliti dapat membuka ruang penjelasan terhadap publik maupun lembaga terkait menyoal vaksin ini.

"Bagi saya, tidak ada yang lebih penting selain evidence based medicine (EBM)."

"Kalau uji klinis fase dua ini dilakukan tanpa izin BPOM, rasanya kok seperti memaksakan ya," ucapnya.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber Kompas.com, Warta Kota