Tak hanya itu, kata dia, saat pemilik ATM itu meninggal dunia, pihak bank seharusnya bisa mengambil tindakan.
“Harusnya yang mengeluarkan uang di tanggal 11 sementara di tanggal 8 itu meninggal, itu harusnya ahli waris, nah ahli warisnya siapa,” jelas dia.
Tak hanya itu, ia pun mencurigai adanya modus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ini.
“Modus-modus seperti ini kok jadi seperti modusnya TPPU ya, jadi orang-orang yang melakukan kejahatan itu biasanya minta KTP anak buahnya atau bahkan cleaning service, KTP-nya dipakai untuk buka rekening kemudian langsung diambil dia, baik rekeningnya maupun ATM-nya,” tutur dia.
Bahkan kata dia, bisa jadi para ajudannya tidak tahu kalau ada ATM atas nama dirinya.
“Bisa jadi yang dipinjam adalah KTP-nya saja, saya tidak tahu waktu bikin rekeningnya seperti apa,” ungkap dia.
Kemudian, ia pun membeberkan bahwa salah satu ciri yang paling penting untuk TPPU adalah adanya transaksi yang mencurigakan.
“Nah dalam hal ini dilihat yang mencurigakan apa. Seorang Yoshua punya rekening 4, kan enggak mungkin itu,” kata dia.
Kemudian aliran dasar yang mencapai ratusan juta ke rekening itu juga harusnya bisa ditelusuri.
“Rp 200 juta itu kita kan bisa dilihat itu rekening korannya, siapa saja yang masuk, dari mana saja yang masuk dan keluar ke mana. Artinya gini, bukan yang bersangkutan ya, tapi apakah uang yang masuk ke rekening itu apa, kalau polisi gajinya berapa, tiap bulan berapa, itu kan bisa dilihat,” tuturnya.
Ia pun menduga bahwa pihak PPATK sudah memberikan analisis tentang transaksi-transaksi selama ini, baik yang masuk maupun yang keluar.