Find Us On Social Media :

Prabowo Subianto Tegaskan BIN Tidak Dibawah Kementerian Pertahanan, Menhan Tanggapi 1 Permintaan Presiden Jokowi Ini

Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ketika menemui awak media usai Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan di kantor Kemenhan

Laporan Wartawan Gridhot.ID - Akhsan Erido Elezhar

Gridhot.ID - Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan Republik Indonesia mengatakan dengan tegas bahwa Badan Intelejen Negara (BIN) tidak berada di bawah naungan Kemhan.

Dilansir Gridhot.ID dari artikel terbitan KompasTV, 24 Januari 2023, pernyataan tersebut merupakan tanggapan Prabowo saat disinggung mengenai isu BIN berada di bawah Kementerian Pertahanan.

Ia juga meluruskan bahwa Kementerian Pertahanan hanya berperan sebagai koordinator untuk mengorkestrasi informasi yang diperoleh dan melaporkannya kepada presiden untuk dinilai dan menentukan arah kebijakan atau policy selanjutnya.

“Tidak, (BIN) tidak dibawa ke Kemhan. (Kemhan) diperintahkan oleh presiden untuk semacam koordinator, untuk membantu presiden menilai,” kata Prabowo kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/1/2023), dikutip dari Antara.

Dengan demikian, pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat, sesuai dengan informasi yang diperoleh.

Sebelumnya diketahui, Presiden Joko Widodo dalam arahannya saat membuka Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan di Jakarta, Rabu (18/1), menyampaikan Kemhan harus bisa mengorkestrasi informasi-informasi intelijen pertahanan dan keamanan yang selama ini dilakukan BIN, TNI, Polri, hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Jokowi meminta Kemhan mengorkestrasi informasi intelijen di berbagai lembaga dan institusi agar menjadi sebuah informasi yang satu serta solid untuk kepentingan pembuatan kebijakan-kebijakan yang tepat atau paling tidak mendekati benar.

"Itu harus diorkestrasi sehingga menjadi sebuah informasi yang solid. Tiap informasi itu diberikan ke kita untuk membangun sebuah policy, kebijakan, itu saja kesimpulannya," kata Jokowi.

“Dengan demikian, saat kita memutuskan policy, memutuskan kebijakan itu betul, paling tidak mendekati benar. Jadi langkah kerja memang harus preventif terlebih dahulu.

Baca Juga: Jadi Salah Satu Obat Tradisional, Madu Nyatanya Ampuh untuk Mengurangi Peradangan Saat Asam Lambung Kambuh

'(Misalnya) Ini hati hati, ini akan terjadi, kemungkinan akan terjadi seperti ini'. Jangan sudah kejadian saya baru diberi tahu. Informasi intelijen menjadi sangat vital sekali,” ucap Jokowi kala itu.

Dikutip Gridhot.ID dari artikel terbitan Tribunnews.com, 24 Januari 2023, sementara itu, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengungkapkan dua alasan mengapa ide Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta Kementerian Pertahanan sebagai orkestrator intelijen pertahanan keamanan perlu dipertimbangkan ulang.

Sebab, kata Anton, langkah tersebut berpotensi untuk mengganggu tata kelola sektor keamanan di Indonesia.

Ia mengatakan ada dua alasan mendasar, mengapa ide tersebut harus ditinjau kembali.

"Pertama, ide tersebut jelas tidak sejalan dengan UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara," kata Anton ketika dikonfirmasi pada Selasa (24/1/2023).

Anton membenarkan bahwa Kementerian Pertahanan adalah satu dari bagian penyelenggara intelijen negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 9e UU tersebut.

Meski demikian, kata Anton, patut diingat sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UU Intelijen Negara, fungsi koordinasi dijalankan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) bukan Kementerian Pertahanan.

"Dengan kata lain, ide tersebut jelas bertentangan dengan legislasi yang mengatur spesifik tentang intelijen negara," kata Anton.

Kedua, lanjut dia, permintaan orkestrasi informasi intelijen pertahanan dan keamanan juga tidak sejalan dengan UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara.

Baca Juga: Inilah 4 Weton yang Diramal Sukses Besar Jika Berdagang, Hidup Mereka Akan Makmur Menurut Primbon Jawa

Pasal 16 UU Pertahanan Negara, lanjut dia, sudah jelas mengatur ruang lingkup pekerjaan dari Menteri Pertahanan.

Dalam klausa tersebut, menurutnya tugas Menhan secara spesifik disebutkan untuk merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan dalam sektor pertahanan.

Sekalipun Pasal 16 poin e membuka ruang Menhan untuk bekerja sama dengan pimpinan kementerian dan lembaga lain dalam menyusun dan melaksanakan renstra, kata Anton, bukan berarti Menhan dapat diberdayakan sebagai orkestrator intelijen hankam.

Justru, lanjut dia, hal tersebut membuka ruang baru tanpa berbasis Undang-Undang dapat berpotensi memundurkan proses reformasi sektor keamanan yang tidak lagi meleburkan sektor pertahanan dan keamanan dalam satu organisasi, selayaknya di era Orde Baru.

"Jika merasa masih ada yang kurang dalam pengelolaan produk intelijen maka Presiden Jokowi semestinya dapat memanggil Kepala BIN ataupun Menko Polhukam untuk kemudian mendiskusikan perbaikan dalam hal tersebut," kata Anton.

Memberikan tugas tambahan kepada Menhan, menurut Anton hanyalah akan makin menambah kompleks serta permasalahan baru dalam tata kelola intelijen negara.

Semestinya, lanjut dia, justru Presiden Jokowi mengingatkan kepada Menhan untuk melaksanakan semua tugas yang tertera dalam Pasal 16 UU Pertahanan Negara.

Sebab, kata dia, hingga kini, masih belum semua tugas yang secara eksplisit ada dalam pasal tersebut dilakukan oleh Menhan.

Salah satu tugas yang hingga kini belum tereralisasi, kata Anton, adalah penyusunan Buku Putih Pertahanan yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat 4 UU Pertahanan Negara.

"Di akhir masa kepemimpinan, ada baiknya Presiden Joko Widodo tidak meninggalkan warisan yang membuat mundur pelaksanaan reformasi sektor keamanan," kata Anton.

"Sebab, improvisasi yang tidak berbasis secara legal formal dan hanya berlandaskan kepentingan politik sesaat akan memberi dampak buruk jangka panjang, tidak hanya bagi institusi sektor keamanan tetapi juga nasib reformasi sektor keamanan," sambung Anton.

(*)