Find Us On Social Media :

Pimpinan KKB Papua Nduga Tercatat Lakukan 65 Kali Kejahatan, Terkuak Alasan Egianus Kogoya Jadi Sosok Bengis, Polahnya Saat Upacara Disorot

Egianus Kogoya

Selain krisis kesehatan, proses pendidikan juga tidak berjalan maksimal. Banyak guru - guru tidak bekerja di wilayah ini. Mereka lebih banyak beraktivitas di kota Wamena. Banyak anak usia sekolah dasar, tidak bisa menikmati pendidikan karena guru cuma satu yg aktif. Itupun cuma satu dan dua mata pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran lain tdk diajarkan, tetapi setiap terima raport, semua mata pelajaran ada nilainya dalam buku raport.

Banyak anak usia SMP yang belum bisa kenal huruf, tidak bisa baca dan berhitung. Untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan, banyak orang tua murid dari Kabupaten Nduga, mengirim anak - anaknya untuk sekolah ke kota Wamena, yang lebih maju pendidikannya.

Egianus Kogoya juga dikirim orang tuanya untuk sekolah lanjut ke SMP di kota Wamena tahun 2011 pada saat usianya 12 tahun. Selama SMP di kota, Wamena, Egianus Kogoya sangat minder dan tertutup, karena mungkin dia belum bisa membaca dan berhitung dengan baik. Selain itu juga, ini karakter umum anak - anak Papua. Saya pun waktu kuliah ke Yogya, awal ke kampus pun ada perasaan minder dan sangat insecure.

Selama sekolah SMP di Wamena, Egianus memiliki satu perilaku yang menonjol dan menjadi perhatian guru - gurunya. Egianus akan ikut upacara bendera tapi tidak perna mau menyanyi lagu Indonesia Raya dan mengangkat tangannya untuk menghormati bendera merah putih.

Guru - gurunya sudah sering menegor dan menghukum Egianus. Disiplin hukuman tidak mengubah sikap dan perilaku Egianus. Bahkan kadang Egianus mendapat kata - kata kasar penuh hinaan dan merendahnya. Disinilah letak persoalan banyak guru - guru di Papua. Baik guru orang asli Papua maupun non orang asli Papua. Mereka tidak bisa menjaga mulutnya di depan siswa yang sulit diatur.

Kalau sewaktu bersekolah di SMP Wamena, Egianus bertemu dengan guru yang berkompeten dan memiliki hati membangun pendidikan di tanah Papua, saya pikir jalan hidup Egianus Kogoya bisa berubah lebih baik. Sangat disayangkan nasib banyak siswa - siswi orang asli Papua yang tidak bertemu dengan guru yang baik, penuh perhatian, memiliki hati yang tulus membangun pendidikan di Papua dan memiliki kompetensi yang sesuai kebutuhan siswa didiknya.

Kalau mau Papua damai, konflik berakhir, Pemerintah daerah di Papua, dari Provinsi sampai kabupaten dan kotamadya, harus wajib fokus membangun pendidikan yang baik dan berkualitas. Dukung pendanaan yang penuh untuk menunjang peningkatan kualitas para pendidik, baik guru dan dosen. Kalau bisa Provinsi Papua menjadi contoh dan teladan bagi Pemerintah Pusat di Jakarta dan Provinsi lain di Indonesia tentang bagaimana memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada para guru di tanah Papua. Minimal gaji atau honarium guru - guru di Papua sama dengan gaji atau honorarium guru di Malaysia dan Jepang.

Marinus Mesak Yaung

Dosen Universitas Cenderawash dan anak dari mama Yuliana Wambukomo ( Alm), seorang guru lulusan Sekolah Guru Ifar Gunung Sentani, dan mama saya perna mengajar dua sekolah langsung, SD YPK dan SDN di Pedalaman Papua tahun 1970an - 1980-an karena tempat tugasnya tidak ada guru lain. (*)