"Sejak saat itulah saya meninggalkan Jakarta, ikut suami ke Yogyakarta. Kami tidak tinggal di dalam Keraton, melainkan di daerah Madukismo (kawasan pinggiran kota Yogyakarta, terkenal dengan pabrik gula di mana Keraton mempunyai banyak saham di situ, Red)."
Di Madukismo, GKR Hemas dan Mas Herjuno hidup layaknya orang biasa, norma keraton tak terlalu ketat dan bergaul dengan masyarakat biasa setempat.
"Banyak tetangga kami yang anggota masyarakat biasa. Demikianlah saya dan anak-anak bergaul dengan lingkungan macam ini."
"Selain itu kami sangat jarang bertandang ke Keraton. Paling hanya sekali-dua, itu pun kalau kebetulan Ngerso Dalem (Sultan Hamengku Buwono IX, Red) rawuh (datang. Red) dari Jakarta."
Ia harus tinggal di pinggiran kota Yogyakarta selama 11 tahun.
"Kami menetap di sana 11 tahun, hingga akhir Februari 1989 kami pindah ke dalam Keraton."
Usai pindah dari Maduksimo, baru GKR Hemas merasakan adat budaya ketat Keraton Yogyakarta.
'Itu terjadi pada awal tahun 1989, sebulan sebelum Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Ketika itu yang meminta kami pindah adalah almarhum sendiri."
"Rupanya ini semacam petunjuk tersembunyi bahwa Mas Herjuno harus bersiap menggantikannya sebagai sultan bila beliau wafat."
"Sejak tinggal di Keraton itulah saya dan anak-anak belajar mengikuti tata-cara yang berlaku."
Meski begitu, GKR Hemas tak mau terlalu menuruti semua norma Keraton Yogyakarta.
Ia beralasan karena ini zaman modern, zaman maju.
"Tapi saya punya prinsip, kami tak boleh terbelenggu pada aturan dan tata krama Keraton."
"Sebab kita hidup di alam maju yang modern. Maka, kalau memang tidak beralasan, kami lebih suka menjalankan kehidupan sesuai norma modern."
(*)
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | Seto Ajinugroho |
Editor | : | Seto Ajinugroho |
Komentar