Gridhot.ID - GKR Hemas, istri Sri Sultan Hamengkubuwono X dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPD RI dengan pemberhentian sementara.
Sanksi ini diberikan lantaran GKR Hemas bolos rapat DPD RI selama 12 kali.
Namun di lain sisi dari keanggotaannya sebagai DPD RI, GKR Hemas punya kisah menarik semasa masih usia remaja.
Dikutip dari Tabloid NOVA edisi Mei 1993, dengan judul asli Gusti Kanjeng Ratu Hemas (2): Sepatu Hak Tinggi untuk Berkelahi, GKR Hemas yang mempunyai nama asli Tatiek Dradjad Supriastuti ini pernah menolak dinikahkan dengan Mas Herjuno Darpito (Sri Sultan Hamengkubuwono X).
Alasannya karena ia beranggapan tak mampu beradaptasi dengan adat budaya Keraton Yogyakarta.
Sempat kabur ke Jerman, GKR Hemas akhirnya mau menikah dengan Mas Herjuno setelah sang ibu menelponnya saat masih diluar negeri.
18 Mei 1973, ia dinikahkan dengan Mas Herjuno yang kelak jadi raja di Keraton Yogyakarta.
Kuliah GKR Hemas di Universitas Triksakti juga berhenti karena petnikahannya.
Baca Juga : 5 Hari Terjepit Batu Besar, Pria Ini Amputasi Tangannya Sendiri Agar Tetap Hidup
"Tanggal 18 Mei 1973, kami dinikahkan di Keraton Yogyakarta. Setelah itu kuliah tidak saya lanjutkan lagi. Bersama kami dinikahkan pula tiga kakak perempuan Mas Herjuno," ujar GKR Hemas.
Berhenti dari bangku perkuliahan dan menikah muda amat disesali oleh GKR Hemas.
"Ketika itu usia saya 20. Sedangkan Mas Herjuno 25. Terus terang saya menyesal. Saya merasa masih terlalu muda untuk menikah."
Menikah dengan Putra Mahkota Keraton Yogyakarta tak serta merta GKR Hemas langsung berada di Keraton.
Baca Juga : Rupanya Ini Alasan Bule Cantik Polly Alexandrea Robinson Mau Dinikahi Nur Khamid
"Sejak saat itulah saya meninggalkan Jakarta, ikut suami ke Yogyakarta. Kami tidak tinggal di dalam Keraton, melainkan di daerah Madukismo (kawasan pinggiran kota Yogyakarta, terkenal dengan pabrik gula di mana Keraton mempunyai banyak saham di situ, Red)."
Di Madukismo, GKR Hemas dan Mas Herjuno hidup layaknya orang biasa, norma keraton tak terlalu ketat dan bergaul dengan masyarakat biasa setempat.
"Banyak tetangga kami yang anggota masyarakat biasa. Demikianlah saya dan anak-anak bergaul dengan lingkungan macam ini."
"Selain itu kami sangat jarang bertandang ke Keraton. Paling hanya sekali-dua, itu pun kalau kebetulan Ngerso Dalem (Sultan Hamengku Buwono IX, Red) rawuh (datang. Red) dari Jakarta."
Ia harus tinggal di pinggiran kota Yogyakarta selama 11 tahun.
"Kami menetap di sana 11 tahun, hingga akhir Februari 1989 kami pindah ke dalam Keraton."
Usai pindah dari Maduksimo, baru GKR Hemas merasakan adat budaya ketat Keraton Yogyakarta.
'Itu terjadi pada awal tahun 1989, sebulan sebelum Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Ketika itu yang meminta kami pindah adalah almarhum sendiri."
"Rupanya ini semacam petunjuk tersembunyi bahwa Mas Herjuno harus bersiap menggantikannya sebagai sultan bila beliau wafat."
"Sejak tinggal di Keraton itulah saya dan anak-anak belajar mengikuti tata-cara yang berlaku."
Meski begitu, GKR Hemas tak mau terlalu menuruti semua norma Keraton Yogyakarta.
Ia beralasan karena ini zaman modern, zaman maju.
"Tapi saya punya prinsip, kami tak boleh terbelenggu pada aturan dan tata krama Keraton."
"Sebab kita hidup di alam maju yang modern. Maka, kalau memang tidak beralasan, kami lebih suka menjalankan kehidupan sesuai norma modern."
(*)