Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

BNPB: Potensi Tsunami Selat Sunda Tidak Terdeteksi karena Ketiadaan Peralatan Sistem Peringatan Dini

Chandra Wulan - Senin, 24 Desember 2018 | 10:21
Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018)
Instagram/didikh.017

Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018)

Laporan Wartawan GridHot.ID, Chandra Wulan

GridHot.ID - Tsunami di perairan Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) malam melanda pantai di Anyer, Banten, Pandeglang hingga Lampung.

Datangnya gelombang tsunami tidak diketahui warga.

Sebelumnya juga tak ada gempa yang dirasakan, berbeda dengan kejadian tsunami yang diawali gempa seperti tsunami Aceh 2004 dan tsunami Palu-Donggala Oktober 2018 lalu.

Karena tidak ada peringatan dini, masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri.

Baca Juga : Volcanogenic Tsunami, Bencana yang Disebabkan Oleh Letusan Gunung Api di Tengah Laut

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan beberapa hal terkait tsunami di Selat Sunda.

Melalui laman Twitternya @Sutopo_PN, Sutopo mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunungapi.

Saat ini hanya ada sistem peringatan dini yang dibangkitkan gempa.

Menurut Sutopo, sistem ini sudah berjalan baik.

Baca Juga : Nelayan Korban Selamat Tsunami Banten Jadi Saksi Hancur dan Tenggelamnya 10 Perahu

Kurang dari lima menit setelah gempa, BMKG sudah dapat memberitahukan peringatan kepada publik.

"Indonesia harus membangun sistem peringatan dini yang dibangkitkan longsor bawah laut dan erupsi gunungapi," ujarnya.

Adanya gempa menyebabkan longsor bawah laut lalu memicu tsunami.

Dua di antaranya ialah tsunami Maumere 1992 dan tsunami Palu 2018.

Baca Juga : Dua Belas Anak Terjebak di Pulau Sekepel Saat Tsunami Melanda Wilayah Perairan Selat Sunda

Di Indonesia, ada 127 gunungapi.

Jumlah tersebut sekitar 13% dari seluruh gunungapi yang ada di dunia.

Beberapa gunungapi ada di laut dan pulau kecil yang dapat menyebabkan tsunami saat erupsi.

Sutopo juga menyoroti bencana lain seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan hingga puting beliung yang juga perlu sistem peringatan dini.

Tidak ada peringatan dini tsunami di Selat Sunda pada 22/12/2018 malam lalu.

Baca Juga : Selamat dari Tsunami, Ade JIGO Sempat Terseret Gelombang Selama Dua Menit

Ketiadaan sistem peringatan dini inilah yang menyebabkan potensi tsunami tidak terdeteksi sebelumnya.

Masyarakat pun tidak punya cukup waktu untuk evakuasi.

Sutopo juga menambahkan fakta bahwa jaringan buoy tsunami di perairan Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012.

Penyebabnya ada banyak: vandalisme, anggaran terbatas, hingga kerusakan teknis.

Buoy diperlukan dan semestinya dibangun lagi untuk memperkuat Tsunami Early Warning System.

Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy
Kompas Sains

Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy

Bagaimana cara kerjanya?

Baca Juga : Detik-Detik Tsunami di Pantai Tanjung Lesung, Band Seventeen Diterjang Air dari Belakang Panggung Saat Sedang Tampil

Dilansir dari Kompas.com, alat pengukur tekanan gelombang di dasar laut mendeteksi secara cepat dan langsung dilaporkan ke buoy yang berada di atas permukaan laut.

Tinggi gelombang yang akan terhempas menuju pesisir secara akurat dapat dilaporkan buoy.

Data aktual itu diterima satelit, alarm peringatan dini sudah bisa diaktifkan.

"Sebelum masuk ke daratan, buoy mencatat dan mengirim data kepada kami (BMKG), lalu kami bisa putuskan dan mempertegas sistem peringatan dini."

Kata Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono.

Baca Juga : Manggung di Tempat yang Sama dengan Seventeen, Aa Jimmy Meninggal Dunia Terseret Arus Tsunami

Dengan demikian menurut Rahmat Triyono, buoy dapat mengetahui langsung secara aktual data di lapangan.

Buoy sangat penting untuk membuat keputusan peringatan dini tsunami yang memberikan waktu bagi warga pesisir untuk menyelamatkan diri.

Meski bisa dilakukan tanpa buoy, tetapi ada konsekuensi besar ketika tidak ada alat ini. Desember 2017 lalu misalnya, guncangan gempa dirasakan warga di pesisir selatan Jawa.

Gempa ini kemudian diikuti peringatan dini Tsunami di Pesisir Pangandaran, Jawa Barat yang belum berakhir selama berjam-jam.

Ini terjadi karena tidak ada bouy yang dapat melaporkan secara aktual tinggi permukaan laut.

Baca Juga : Seismometer Rusak Jadi Penyebab Tsunami Anyer Tak Terdeteksi

Tsunami di Selat Sunda

Tsunami di Selat Sunda

Peringatan dini tsunami baru berakhir setelah tiga jam, tanpa adanya tsunami. Berbeda dengan di Palu.

Ketinggian gelombang saat menghantam daratan pada peringatan dini tsunami sebelum berakhir tidak bisa dipastikan karena tidak ada buoy.

BMKG hanya mengetahui ketinggian hingga cepatnya gelombang laut ke daratan melalui skenario tsunami yang telah diperhitungkan sebelumnya.

Akibatnya, tsunami yang menghantam kota Palu tersebut membuat kaget banyak pihak karena ukuran kekuatan yang lebih besar dari prediksi.

Baca Juga : Panik Hingga Turun ke Jalan Akibat Kabar Tsunami, Warga Anyer: Cari Berita yang Bener

Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018)
Instagram/didikh.017

Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018)

Sehari setelah tsunami Selat Sunda, pesawat Geand Caravan Susi Air menangkap gambar erupsi Gunung Anak Krakatau pada 23/11/2018.

Gunung Anak Krakatau erupsi sejak Juni 2018 hingga sekarang.

Periode Oktober-November 2018 terjadi erupsi lebih besar dibandingkan 23/11/2018.

Hingga saat ini status aktivitas Gunung Anak Krakatau ada di level Waspada (II).

Sementara itu, update data korban sementara hingga 24/12/2018 pukul 07.00 WIB, tercatat 281 orang tewas, 1.016 luka-luka, 57 orang hilang dan 11.687 mengungsi.

Kerusakan fisik tercatat 611 rumah rusak, 69 hotel-vila rusak, 60 warung-toko rusak, dan 420 rusak.

(*)

Source :Kompas.com Twitter

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x