"Orang China dan Eropa, dulu mengirim utusan untuk menghormati leluhur kami," kata Kiram.
"Kesultanan Sulu yang berdiri pada 1400, sudah ada lebih dulu sebelum Filipina dan Malaysia terbentuk," tambah dia.
Kekuatan militer Kesultanan Sulu pada tahun 1660-1700an juga amat besar. Terutama pejuang Tausug milik mereka.
Tercatat Sultan Brunei sempat meminta bantuan kepada Kesultanan Sulu demi memadamkan pemberontakan di dalam negerinya kala itu.
"Setelah pemberontakan padam, Sultan Brunei menyerahkan Sabah kepada Sultan Sulu sebagai tanda terima kasih," papar Kiram.
Ketika Sabah diberikan kepada Sulu, maka seorang Sultan Filipina menyewakannya kepada perusahaan Inggris.
Namun Inggris malah menganeksasinya dan pada 1963 negeri Ratu Elizabeth mendirikan Federasi Malaya sehingga secara sepihak Sabah dimasukkan ke wilayah Malaysia.
Kesultanan Sulu lantas ambruk, namun masih mempunyai pengikut hingga sekarang.
Terlilit Utang
Jamalul Kiram pernah mencalonkan diri sebagai senator pada 2007 dengan dukungan Presiden Gloria Macapagal Arroyo.
Namun ia gagal menang dan terlilit utang akibat biaya kampanye yang mahal.
Kiram juga merasa bersalah karena sebagai Raja ia tak mampu memberikan kehidupan yang layak bagi rakyatnya yang setia sehingga mereka harus pergi ke negara lain untuk bekerja.
Hal inilah yang membuat Kiram memerintahkan adik laki-lakinya untuk memimpin 200 orang milisi bersenjata berlayar ke Lahad Datu, Sabah pada tahun 2013.
Tujuannya tentu merebut Sabah yang memang milik Kesultanan Sulu dari tangan kolonial Malaysia.
"Sabah sangat kaya. Saat di Sabah, saya merasa berada di rumah," titah Kiram sebelum dirinya meninggal pada 20 Oktober 2013 karena gagal ginjal.
Gara-gara serbuan milisi Sulu yang menuntut kembalinya Sabah ke pangkuan mereka, Malaysia didera krisis keamanan terbesar dan insiden berdarah sejak era Dwikora.
Kini Filipina dan Kesultanan Sulu terus menuntut pengembalian Sabah dari cengkeraman Malaysia.
(Seto Aji/Gridhot.ID)
Source | : | Kompas.com,New York Times |
Penulis | : | Seto Ajinugroho |
Editor | : | Seto Ajinugroho |
Komentar