Enam ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Ia juga pinjam satu botol whiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya.
Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja.
Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda. Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto.
Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang. Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang- barang itu dan membayar mereka 5-10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh terisi segala macam barang.
Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.
Karena waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak China dan barang lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga.
Ia mulai menjual terigu. Semula hanya Rp 50 per karung, lalu ia naikkan menjadi Rp 60, dan akhirnya Rp 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp 20 per karung, kemudian Rp 40.
Kala itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia, ngapain jual semen ke kontraktor?
Baca Juga : Basuki Tjahaja Purnama Cerita Beda Mantan Istri dan Puput Nastiti Devi
Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia bayar tukang Rp 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp 3.500 per kuburan, dan yang terakhir membayar Rp 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor kuburan.