Kisahnya berawal ketika tahun 2002, Tuong Van, warga negara Australia keturunan Vietnam, ditangkap di Bandara Changi.
Tuong yang hendak kembali ke Australia kepergok menyembunyikan 400 g heroin.
Celakanya, di Singapura, tak ada ganjaran lain untuk orang dewasa yang memiliki narkoba lebih dari 15 g, selain hukuman mati.
Kasus ini sempat memanaskan hubungan Australia - Singapura. Tiga tahun Australia berusaha membebaskan Tuong. Namun, hasilnya nihil.
Pemerintah Singapura malah menjadwalkan eksekusi Tuong pada akhir 2005. Nah, beberapa bulan sebelum dilaksanakannya hukuman mati itulah, pers Australia balas menyerang dengan "menangkap" algojo yang akan mengeksekusi Tuong.
Siapa lagi kalau bukan Darshan Singh. Oleh media cetak The Australian, Singh dibujuk menceritakan suka dukanya sebagai algojo.
Keruan, pemerintah Singapura kebakaran jenggot. Pihak yang berwenang di Penjara Changi sempat berencana memberhentikan Singh, dan menyiapkan eksekutor pengganti buat Tuong.
Sebagai anggota "dinas rahasia", Singh dianggap telah kebablasan. Namun, rencana itu keburu didengar orang-orang di luar tembok penjara.
Lex Lasry, penasihat hukum Tuong mengaku tak rela kliennya digantung algojo yang sama sekali tidak berpengalaman. "Keputusan itu aneh. sangat aneh," kritiknya.
Kali ini pemerintah Singapura mengalah. "Status Darshan Singh tidak berubah. Dia tetap bersama kami, sebagai pegawai kontrak," tegas juru bicara pemerintah.
Artinya, meski tidak dinyatakan secara resmi, Tuong (dieksekusi November 2005) tetap menjadi "jatah" Singh, kakek yang telah berkali-kali memohon izin pensiun, tapi selalu ditolak atasannya.