Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Komando Pasukan Khusus atau sering dikenal dengan Kopassus merupakan salah satu pasukan elit militer dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pasukan ini kerap diterjunkan di berbagai medan pertempuran terutama untuk menjaga garis depan pertahanan Negara Indonesia.
Keterampilan dalam taktik dan intelektualitas pasukan Kopassus menjadi bekal mereka untuk terjun langsung di meda pertempuran.
Tradisi pendidikan Kopassus yang tegas dan disiplin membentuk jiwa militan pada anggota mudanya.
Meski baru lulus pendidikan para komando, sebagai tradisi pendidikan Kopassus seorang prajurit muda diberi kesempatan langsung untuk bertugas di medan operasi.
Melansir dari Surya.co.id, tradisi tersebut pernah diceritakan oleh sembilan perwira muda yang baru menyelesaikan pendidikan di Pusat Pendidikan Kopassandha di Batujajar, Jawa Barat.
Kisah itu ditulis dalam buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto.
Dalam penugasannya, sembilan perwira muda Kopassus tadi diterjunkan langsung untuk menghadapi pemberontakan di Kalimantan pada saat itu.
Mereka diberangkatkan pada tanggal 5 Desember 1972 pagi hari, menggunakan pesawat C-47 Dakota Skadron-2 / Angkut Ringan AURI.
Pesawat itu bertolak dari Pangkalan Udara (Lanud) Supadio, Pontianak, menuju hutan di Sektor Barat Kalimantan Barat dekat daerah perbatasan.
Dari sembilan perwira muda itu, dibagilah menjadi dua tim.
Empat orang perwira remaja, yaitu Letda Inf Subagyo HS, Letda Inf Kirbiantoro, Letda Inf. Muchdi PR dan Letda Inf. S. Supriyadi akan diterjunkan di hutan dekat Desa Tanjung.
Kemudian bergabung dengan Yonif 515 yang bermarkas induk di Jember, Jawa Timur.
Baca Juga: Terlalu Kencang Berkokok, Sepasang Pensiunan Laporkan Seekor Ayam Jago ke Pengadilan
Para remaja itu akan memulai tugas pertempuran sebagai komandan pleton pada pasukan infantri.
Sementara itu lima orang perwira remaja lainnya, masing-masing Lettu Inf Torang Tobing, Lettu Inf Niko Tumatar, Lettu Inf Edward Simbolon, Letda Inf Istiarto dan Lettu Johanes Bambang, akan ditempatkan di hutan dekat desa Paloh mereka bergabung dengan Satgas-42.
Situasi Kalimantan terutama di Kalimantan Barat pada saat itu masih terdapat aktivitas gerombolan komunis Serawak, maka Komandan Satgas 42/Kopassandha Mayor Sintong Pandjaitan memerintahkan agar disediakan pasukan pengamanan.
Sintong mengatakan bahwa terjun tempur di hutan, akan berkesan bagi para remaja.
Ia pun berani bertanggung jawab atas kematian anggota muda yang bertugas.
"Tapi jika mereka ada yang mati, aku yang bertanggung jawab," kata Sintong.
Sintong Panjaitan saat itu merupakan Komandan Satgas 42/Kopassandha yang ditugaskan menggantikan Satgas 32/Kopassandha dan Kompi A Yonif 412 Kodam VII/Diponegoro.
Baca Juga: Dibalik Optimisme Jalankan Tugas di Tengah Masyarakat, Sutopo Selalu Takut Dibayangi Kematian
Sintong Pandjaitan memimpin penerjunan sebanyak 200 orang prajurit baret merah.
Dan untunglah sembilan perwira muda yang ikut terjun saat itu mendarat dengan selamat.
Penduduk di kampung-kampung yang menyaksikan penerjunan itu terkagum-kagum dengan aksi penerjunan pasukan Kopassus.
Berkat pengalaman terjun tempur di hutan Kalimantan Barat, kesembilan perwira remaja mendapat 'Bintang Merah' pada sayap terjun di dada kiri mereka.
Baca Juga: Sosok-sosok Idola Sutopo Semasa Hidup, Jadi Penyemangat Saat Bertugas dan Lawan Rasa Sakitnya
Dalam perkembangan selanjutnya, keempat remaja yang ditugaskan selama lima bulan sebagai komandan peleton pada Yonif 515 kemudian, ditarik ke Mako Satgas-42 di Paloh.
Letda Subagyo HS dan Letda Muchdi PR diangkat menjadi Komandan Tim pasukan Baret Merah untuk memimpin pasukan para komando seperti yang dibutuhkan Sintong dalam Operasi Kilat tugas tempur di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Semua kegigihan dan keberhasilan sembilan perwira Kopassus muda tersebut tak lepas dari hasil latihan keras Kopassus.
Baca Juga: Kisah Pilu Nenek Amur, Tinggal Sebatang Kara di Gubuk Reot dan Sering Teriak-teriak Saat Minta Makan
Latihan prajurit Kopassus sempat diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam bukunya yang berjudul 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'.
Dalam buku biografinya, Pramono Edhie Wibowo yang juga pernah bertugas di krops baret merah itu menceritakan latihan terberat prajurit Kopassus sudah menanti saat sampai di Cilacap.
Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut, calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.
Di sini, materi latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet.
Baca Juga: Akhir Kisah Pasangan Sedarah Bulukumba, Resmi Dihapus dari KK dan Dianggap Sudah Meninggal Dunia
Para prajurit Kopassus harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.
Dalam latihan itu, para calon prajurit Kopassus dilepas tanpa bekal pada pagi hari, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu.
Selama “pelolosan”, calon prajurit Kopassus harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar.
Baca Juga: Berjuluk Punggung Naga, Lihat Penampakan Medan Ekstrem Gunung Pramid Tempat Pendaki Thoriq Hilang
Dalam pelolosan itu, kalau ada prajurit yang tertangkap maka berarti itu merupakan 'neraka' baginya karena dia akan diinterogasi seperti dalam perang.
Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.
Siksaan itu harus ditahan oleh seorang prajurit untuk tidak membocorkan informasi yang dimiliki.
Siksaan kamp tawanan seperti ini harus dilewati seorang pra prajurit selama tiga hari.
Dalam kamp tawanan ini semua prajurit Kopassus akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.
Baca Juga: Viral Seorang Pria Jadi Penumpang Tunggal Pesawat Citilink, Ini Penjelasan dari Pihak Maskapai
“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi. Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie.
Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan.
Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70.
Begitu juga kemampuan menembak dan berenang nonstop sejauh 2000 meter.
“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” kata mantan Danjen Kopassus ini.(*)