Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Kabar kerusuhan di Manokwari, Papua Barat melangsungkan aksi protes atas dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah di Jawa Timur kian memanas.
Seluruh rakyat Indonesia pun menginginkan supaya situasi panas di Papua segera mereda.
Beberapa petinggi pemerintahan dan juga Presiden Republik Indonesia juga menyerukan perdamaian untuk meredakan konflik yang terjadi pada 18-19 Agustus 2019.
Melansir dari Kompas.com, Presiden Joko Widodo memahami bahwa masyarakat Papua dan Papua Barat tersinggung atas kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Meski begitu, Jokowi meyakinkan masyarakat Papua dan Papua Barat bahwa pemerintah akan terus menjaga kehormatan mereka.
Jokowi juga meminta masyarakat Papua untuk memaafkan pihak-pihak yang telah membuat mereka tersinggung terkait insiden yang terjadi di Surabaya dan Malang.
"Jadi, saudara-saudaraku. Pace, mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air, yang paling baik adalah saling memaafkan," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/8/2019).
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawangsa juga turut angkat bicara mengenai aksi kerusuhan ini.
Ia berharap supaya situasi di Manokwari dan juga Papua bisa segera kembali kondusif.
Melansir dari TribunnewsBogor (19/8/2019), Khofifah telah menelepon Gubernur Papua untuk meminta maaf terkait kejadian di Surabaya dan Malang, Jawa Timur yang memicu kerusuhan di Manokwari.
"Kami telepon Gubernur Papua, mohon maaf. Sama sekali itu bukan suara Jatim. Harus bedakan letupan bersifat personal dengan apa yang menjadi komiten Jatim," kata Khofifah dalam jumpa pers bersama Kapolri Jenderal TNI Tito Karnavian sebagaimana ditayangkan di Kompas TV, Senin.
Khofifah mengatakan, pihaknya bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah sering berkomunikasi dengan mahasiswa Papua.
Bahkan, mahasiswa Papua sering diundang dalam setiap-setiap acara penting di Jawa Timur.
"Komunikasi kami sangat intensif. Masing-masing harus bangun satu komitmen untuk menjaga NKRI, Pancasila, dan merah putih," kata Khofifah.
Sementara itu Gubernur Papua Lukas Enembe juga berusaha meredam aksi massa dengan menemui pengunjuk asa di Lapangan Apel Kantor Gubernur Papua, Kota Jayapura, Senin (19/8/2019).
Berbeda dengan di Manokwari yang diwarnai kerusuhan, aksi di Jayapura berlangsung damai dan tertib.
Di depan ribuan pengunjuk rasa tersebut, Enembe menceritakan bahwa Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur sudah meminta maaf via telepon.
Pada saat membeberkan isi pembicaraannya dengan Khofifah, didalamnya Enembe menyinggung soal nama Gus Dur.
"Saya sampaikan (ke Khofifah), orang Papua mencintai Gus Dur, Ibu Gubernur tuh kadernya Gus Dur, kenapa mahasiswa saya dianiaya seperti itu hanya karena masalah bendera, tidak dibenarkan," kata Enembe
Ia mempertanyakan kebijakan Khofifah yang tidak menerjunkan Banser untuk membela mahasiswa Papua yang diserang oleh organisasi kemasyarakatan lainnya.
"Saya sampaikan kepada Ibu Gubernur, ibu minta maaf bukan mewakili Jawa Timur, ini kelompok tertentu," ujar dia.
Lalu apa yang sebenarnya keterkaitan nama Gus Dur dengan kerusuhan ini sehingga namanya sampai dibawa-bawa oleh Enembe?
Ternyata, sosok Gus Dur merupakan salah satu tokoh negara yang benar-benar dicintai oleh masyarakat Papua.
Mengutip dari TribunPalu.com, selama Gus Dur menjabat menjadi Presiden ke 4 Republik Indonesia, pernah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai baik untuk masyarakat Papua antara lain:
1. Sumbang Dana Rp 1 Miliar untuk Kongres Rakyat Papua
Dikutip dari tulisan Tri Agung Kristanto dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur, Gus Dur memiliki peran besar dalam terselenggaranya Kongres Rakyat Papua pada akhir Mei tahun 2000.
Kongres itu awalnya tertunda-tendua karena masalah finansial.
Kongres yang dihadiri tidak kurang dari 5.000 rakyat Papua itu akhirnya terselenggara berkas bantuan dari Gus Dur sebesar Rp 1 miliar.
Sekretaris Presidium Dewan Papua Thaha Mohammad Alhamid kepada Kompas menjelang kongres berlangsung mengakui besarnya peranan dana bantuan Presiden Gus Dur untuk penyelenggaraan kongres.
Meskipun pada kemudian hari, Gus Dur kecewa dengan hasil kongres.
"Tadinya saya membantu (Kongres Rakyat Papua,-red) supaya terlaksana, karena panitia kongres menjanjikan dua hal yakni tidak orang asing di dalamnya (Kongres) dan semua orang (Papua) boleh ikut," kata Gus Dur dalam berita Kompas, 6 Juni 2000.
Saat itu, langkah Gus Dur memberikan bantuan dana dikecam karena dianggap memberi peluang opsi Papua memisahkan diri dari NKRI.
2. Gus Dur Mampu Jembatani Perbedaan di Papua
Mengutip berita Kompas.com pada 31 Desember 2019, Sekretaris Jendral (Sekjen) Presidium Dewan Papua (PDP), Thaha M Alhamid menyatakan, Gus Dur mampu menjembatani segala perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat tertentu di Papua untuk menyelesaikan permasalahan di daerah tersebut.
"Gus Dur mampu mengalihkan kekalutan politik di Papua pada tahun 2000 silam melalui proses-proses bermartabat yang jauh dari tindakan anarki yang melibatkan pertentangan antara rakyat dengan aparat," ujar Thaha di Jayapura.
Dikatakannya, rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Papua masih membutuhkan nasihat dan ketokohan Gus Dur dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan sosial yang muncul baik yang sifatnya vertikal maupun horizontal.
Salah satu peran Gus Dur adalah mengakomodasi aspirasi masyarakat Papua pada tahun 2000 lalu adalah diberinya izin untuk melaksanakan musyawarah besar atau Kongres Papua.
"Kongres Papua menjadi forum politik bagi masyarakat Papua untuk menyatakan gagasan dan aspirasi mereka yang selama pemerintahan-pemerintahan sebelumnya mengalami kebisuan," tandasnya.
Melalui kegiatan tersebut lanjut dia, Gus Dur menunjukkan dirinya sebagai seorang yang pluralis sekaligus melindungi kelompok-kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan.
"Setelah Gus Dur wafat, saya berharap ada tokoh Indonesia lainnya yang dapat mengganti figur dan karakter beliau, terutama dalam menyikapi dan memberikan nasihat-nasihat politik menyangkut permasalahan bangsa," kata Thaha menanggapi kabar meninggalnya Gus Dur.
3. Mengembalikan Nama Papua Menjadi Irian Jaya
Pada 31 Desember 1999, Gus Dur menyempatkan diri melewatkan pergantian tahun di Jayapura sekaligus menyatakan mengembalikan nama "Papua" untuk mengganti "Irian Jaya" yang diberikan pada pemerintahan Presiden Soeharto.
Pengembalian nama itu dilakukan pada 1 Januari 2000.
Terkait pengembalian nama itu, dalam tulisannya, B Josie Susilo Hardianto yang dimuat Kompas.com pada 4 Januari 2010, orang Papua bersedih saat Gus Dur meninggal.
4. Sempat Memperbolehkan Bendera Bintang Kejora Dikibarkan
Presiden Gus Dur sempat memperbolehkan bendera Bintang Kejora dikibarkan di Papua pada 1 Desember yang merupakan hari ulang tahun kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Gus Dur menyebut bahwa bendera Bintang Kejora hanya sebuah umbul-umbul seperti bendera saat pertandingan sepakabola.
Saat itu, Gus Dur meminta aparat tak terlalu risau dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Gus Dur menyebut bendera Bintang Kejora hanya benderal kultural biasa.
Ia tak mempersoalkan bendera Bintang Kejora dikabarkan asal bendera merah putih juga dikibarkan dan lebih tinggi.
Kebijakannya itu pun membuat dirinya harus berdebat dengan Wiranto pada saat itu.
Usai kebijakannya itu, pada saat sidang kabinet Gus Dur memutuskan bendera bintang kejora dianggap sebagai lambang separatisme dan bukan lagi bendera budaya yang akhirnya dilarang untuk dikibarkan.(*)
Source | : | Kompas.com,TribunnewsBogor.com,TribunPalu.com |
Penulis | : | Nicolaus |
Editor | : | Nicolaus |
Komentar