Laporan wartawan GridHot.ID, Dewi Lusmawati
GridHot.ID -Bagi rakyat Indonesia, keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sudah tak asing lagi.
BPJS Kesehatan yang merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden ini, memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia
Tujuan dibentuknya BPJS Kesehatan yakni untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup penduduk Indonesia.
Tugas dan fungsinya yang sangat vital dalam upaya memberi jaminan kesehatan bagi segenap penduduk Indonesia, membuat BPJS Kesehatan dianggap berjasa bagi para penggunanya.
Meski bermanfaat bagi banyak orang, nyatanya, BPJS Kesehatan kini mengalami situasi sulit bak menelan buah simalakama.
Bagaimana tidak, Masalah keuangan yang mendera Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) seolah tak pernah usai.
Baca Juga: Idap Tumor Otak Stadium 4, Agung Hercules Akui Tak Gengsi Manfaatkan Fasilitas BPJS
Dikutip GridHot.ID dari Kontan, BPJS Kesehatan masih mencatatkan defisit sebesar Rp 7 triliun hingga Juni 2019.
Alhasil, BPJS Kesehatan kesulitan melunasi tagihan-tagihan rumahsakit yang bermitra dengannya sehingga membuat lembaga ini terancam kena denda.
Dengan tagihan yang gagal bayar mencapai Rp7 triliun, maka dapat dipastikan BPJS Kesehatan harus menghadapi denda 1% dari setiap keterlambatan klaim, yaitu sebesar Rp70 miliar.
Kondisi tersebut membuat BPJS Kesehatan semakin terbebani karena defisit tahun lalu belum tertutupi.
Tagihan BPJS
Usai santer kabar defisit yang dialami BPJS Kesehatan, kini pemerintah membuka rencana untuk menaikkan iuran program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dikutip dari Kontan, Selasa (27/8/2019) kemarin, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengajukan usulan kenaikan iuran JKN kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat rapat kerja gabungan Komisi IX DPR dan Komisi XI DPR.
Dalam kesempatan ini, Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni mengusulkan kenaikan iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU).
DJSN mengusulkan iuran untuk PBPU kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 120.000 per bulan atau naik 50%.
Sedangkan untuk PBPU kelas II, DJSN mengusulkan iurannya naik dari Rp 51.000 per bulan menjadi Rp 75.000 per bulan untuk setiap peserta.
Kenaikan besaran iurannya sekitar 47,05%.
"Untuk kelas III, kami samakan dengan peserta penerima bantuan iuran (PBI)," kata Choesni Selasa (27/8/2019).
Baca Juga: Budidaya Lalat Desa Sokawera, Datangkan Rejeki untuk Sekolah Anak - Anak dan Bayar BPJS
Asal tahu saja, iuran PBI BPJS Kesehatan naik menjadi Rp 42.000 per bulan per peserta, dari yang saat ini sebesar Rp 23.000 per peserta per bulan.
Suasana di BPJS Kesehatan
Bila iuran untuk PBPU kelas III disamakan menjadi Rp 42.000 per orang, artinya kenaikan iuran untuk peserta kelas ini sebesar 64,7% dari iuran yang berlaku saat ini sebesar Rp 25.500 per peserta per bulan.
Selanjutnya, iuran Peserta Penerima Upah-Badan Usaha, DJSN mengusulkan sebesar 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta, dari sebelumnya Rp 8 juta.
Baca Juga: Adukan Tindak Pemerkosaan yang Dilakukan Atasannya, Seorang Pegawai BPJS Ketenagakerjaan Dipecat
Sementara iuran Peserta Penerima Upah-Pemerintah sebesar 5% dari take home pay, dari semula 5% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga.
Menurut Choesni, jika kenaikan iuran berlaku mulai 2020, maka sustainabilitas dana Program JKN bisa tercapai di akhir 2021 mendatang.
Dengan asumsi, pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit hingga akhir 2019.
Choesni menjelaskan, DJSN memiliki tim teknis yang berasal dari kementerian terkait, tim ahli, dan akademisi untuk menyusun aktuaria pembiayaan Program JKN.
Model tersebut pun mereka susun berdasarkan data BPJS Kesehatan dalam lima tahun terakhir.
Sejumlah RS mengeluhkan tunggakan klaim BPJS Kesehatan.
DJSN juga berharap, ada perbaikan sistemis pada bidang kelembagaan, harmonisasi regulasi, peningkatan mutu pelayanan termasuk pencegahan fraud.
Kemudian, penyediaan sarana termasuk peningkatan mutu tengah kesehatan, optimalisasi penerimaan, edukasi publik, dan penegakan hukum.(*)