Laporan Wartawan GridHot.ID, Siti Nur Qasanah
GridHot.ID - Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie meninggal dunia pada usia 83 tahun di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (11/9/2019).
Selama hidupnya, Habibie dikenang sebagai sosok yang pintar dan jenius.
Habibie bahkan digadang-gadang menjadi satu-satunya orang Indonesia yang memiliki IQ 200.
Dikutip dari Tribunnews, atas kejeniusannya itu, Habibie pernah menyandang julukan Mr Crack semasa hidupnya.
Julukan itu disandang Habibie karena keahliannya dalam menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang.
Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10 persen dari bobot sebelumnya.
Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen, setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.
Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat.
Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas.
Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat.
Lantas bagaimana masa kecil Habibie hingga ia bisa tumbuh menjadi orang yang sangat jenius?
Dilansir dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud via Kompas.com, kejeniusan Habibie telah terbentuk sejak kecil.
Selain karena keenceran otaknya, juga karena hasil didikan dan gemblengan ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie.
Dalam buku biografi BJ Habibie berjudul "Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner" yang ditulis Gina S Noer dan diterbitkan tahun 2015, Rudy, nama kecil BJ Habibie digambarkan sebagai anak yang selalu cerewet, dan ingin tahu segala sesuatu.
Sejak berusia 2-3 tahun, Rudy selalu menanyakan segala sesuatu yang ditemui dan dilihat pada ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie.
Apapun yang dilihat, ingin ia diketahui penyebabnya dan kenapa begini kenapa begitu.
Ayahnya pun selalu menjawab dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga Rudy kecil juga mengerti dan paham.
Suatu contoh, Rudy yang masih berusia 3 tahun menanyakan, apa yang dilakukan ayahnya dengan menggabungkan kedua pohon yang berbeda atau tak sejenis.
Ayahnya lantas menjawab pertanyaan Rudy dengan serius, tapi dengan cara yang bisa dibahami oleh Rudy kecil.
"Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya setek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini”, jawab ayahnya.
"Mengapa papi gabungkan?" tanya Rudy lagi.
"Agar kamu dan teman-teman bisa makan mangga yang enak," jawab ayahnya.
"Kalau gagal bagaimana?" tanya Rudy.
"Kita cari cara lain dan pohon mangga lain agar bisa tumbuh di sini," ujar ayahnya.
Kendati demikian, ayahnya tidak setiap saat selalu ada saat Rudy ingin bertanya sesuatu.
Sebagai gantinya, sang ayah menyuruh Rudy untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaannya lewat buku.
Hasilnya, saat usia 4 tahun, Rudy sudah lancar membaca dan rajin melahap buku-buku yang disediakan ayahnya.
Pendek kata, buku menjadi cinta pertama Rudy dan membaca menjadi bagian hidupnya.
Apa yang dilakukan ayahnya pada Rudy merupakan salah salah praktek penanaman kebiasaan membaca di rumah.
Yang lebih spesifik lagi, cara ayahnya menjawab setiap pertanyaan anaknya itu merupakan salah satu metode penanaman literasi sains di keluarga.
Melalui cara tersebut, Rudy tumbuh menjadi manusia yang gemar mencari setiap masalah dan menemukan solusinya, termasuk dalam teknologi kedirgataraan yang membuatnya menjadi pakar ilmu penerbangan yang terkenal di dunia.
"Saya dari lahir, cuma butuh tidur empat jam, selebihnya yang dua puluh jam, panca indera saya menyerap lingkungan sekitar dan bertanya-tanya," kata Habibie saat peluncuran buku biografinya “Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner” pada 12 Oktober 2015 silam.
Karena panca inderanya sangat aktif, lanjut Habibie, saat kecil dirinya sudah mulai bertanya-tanya dan kalau tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun menangis.
(*)