Laporan Wartawan Gridhot.ID, Angriawan Cahyo Pawenang
Gridhot.ID - Nama KSAD Jendera Andika Perkasa sedang menjadi sorotan pasca dirinya memberi tindakan tegas kepada anggotanya akibat mengomentari kasus penusukan Wiranto secara tidak simpatik.
Publik akhirnya penasaran dengan sosok Jenderal Andika Perkasa atas ketegasannya.
Riwayat pendidikan dan karirnya yang cemerlang membuat Andika Perkasa jadi sosok militer idola masyarakat.
Namun sosok keluarga dibelakang Andika Perkasa ternyata juga bukanlah kalangan sembarangan.
Mertua Andika Perkasa merupakan seorang jenderal TNI yang sangat terkenal di Tanah Air yaitu AM Hendropriyono.
Hendropriyono merupakan prajurit yang sangat melegenda bahkan dirinya juga menjadi kepala BIN pertama.
Dikutip Gridhot dari Tribun Jabar, Hendropriyono selama berkarir di dunia militer mengikuti beberapa operasi yang membuat namanya melejit.
Salah satu operasinya yang terkenal adalah Operasi Penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Hendropriyono setidaknya terlibat dalam operasi penumpasan pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang terbentuk di masa konfrontasi Ganyang Malaysia (1963-1966) oleh intelijen Indonesia pada era Presiden Soekarno.
Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa, Hendropriyono menceritakan pengalamannya tersebut.
"Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kami sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan," ujar Hendropriyono.
Pada awalnya, sekitar tahun 1960, rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bersama Presiden Filipina Diosdado Macapagal mengkritik pembentukan Malaysia yang dianggap permainan neo-kolonialisme Inggris.
Saat itu, Macapagal sempat menyarankan pembentukan Maphilindo, sejenis federasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Sebab, Macapagal menilai ada kesamaan kultural Melayu di tiga negara ini.
Namun, Soekarno lebih memilih berkonfrontasi langsung dalam perang tidak resmi menghadapi Malaysia dan Persemakmuran Inggris.
Hingga akhirnya terjadilah perang sengit di tengah rimbanya Kalimantan.
Setelah peristiwa Mangkok Merah pada tahun 1967, Hendropriyono mendapat tugas untuk melawan bekas sekutu TNI.
Kemudian, terbentuklah Sandi Yudha, satuan intelijen tempur dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang saat ini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Anggota PGRS sendiri diketahui merupakan pemuda Tionghoa namun ada beberapa dari suku Dayak, Melayu, Jawa dan lainnya.
Hendropriyono yang memimpin unit berisi 8 orang mendekat ke arah gubuk Hassan yang merupakan komandan PGRS.
Peristiwa tersebut dilaporkan terjadi secara senyap dalam semalam.
Di sini ketangguhan pasukan tersebut terbukti.
Salah satu anggota Sandi Yudha berhasil menggugurkan penjaga gubuk yang bersenjatakan api dengan sangkur atau pisau yang ada di senapan.
Hendropriyono yang berhasil bertatap muka dengan Hassan justru mendapatkan perlawanan.
Pertempuran jarak dekat satu lawan satu pun tak terelakkan.
Dalam pertarungan tersebut, Hendropriyono mengalami luka dibagian paha dan jarinya akibat sangkur milik Hassan.
Namun pertempuran tersebut berhasil dimenangkan Hendropriyono.
Hendropriyono dan pasukannya juga berusaha sebisa mungkin membujuk hati musuh agar bersimpati ke Indonesia.
"Kita tidak pernah tahu kapan jadi kawan dan situasi berubah lalu jadi lawan. Bertempurlah dengan ksatria. Jangan menyiksa lawan. Itu sifat prajurit Sandi Yudha," ujar Hendropriyono saat peluncuran buku Operasi Sandi Yudha Menumpas Gerakan Klandestin.
(*)