Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Aksi bom bunuh diri terjadi di Markas Polrestabes Medan, Jalan HM Said Medan, Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019) pagi.
Dikutip dari Kompas, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 08.45 WIB, saat sejumlah polisi baru saja melakukan apel pagi.
Pelaku yang mengenakan jaket berlogo ojek online meninggal di tempat dengan kondisi mengenaskan.
Peristiwa itu juga menyebabkan enam orang menjadi korban luka ringan.
Empat orang merupakan personel Polri, satu orang pekerja PHL, sementara seorang lain masyarakat biasa.
Kepolisian kini telah mengantongi identitas pelaku bom bunuh diri di halaman Markas Polrestabes Medan.
"Pelaku berinisial RMN, usianya 24 tahun," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo dalam konferensi pers di Gedung Humas Polri, Jakarta, Rabu siang.
Identitas pelaku diketahui berdasarkan sidik jari jenazah yang diambil oleh tim Inafis Polri.
"Pemeriksaan tersebut, penyidik, dalam hal ini Inafis, berhasil mengetahui identitas tersangka di tempat kejadian perkara," ujar Dedi.
Pelaku diketahui lahir di Medan dan berstatus mahasiswa/pelajar.
"Selanjutnya dari yang bersangkutan, akan dikembangkan lagi oleh Densus 88," lanjut Dedi.
Dari hasil analisis sementara, aksi bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan ternyata tidak lepas dari jaringan Jamaah Ansharut Tauhid (JAD).
Analisis itu diungkapkan mantan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) yang juga mantan Kombatan, Ali Fauzi saat dihubungi Surya.co.id, Rabu (13/11/2019) terkait aksi bom bunuh diri.
Pendapat Ali Fauzi yang juga adik kandung Trio Bomer Bali ini didasarkan analisanya pada tipe bom yang diledakkan di Medan, sama dengan anggota JAD sebelumnya.
"Targetnya sama, modusnya sana dan tipe bomnya juga sama," katanya.
Sementara ideologinya sama yakni JAD dengan sasaran pada polisi yang dianggapnya toghut, perspektif itu adalah ideoligi JAD.
Hal tersebut pun diperjelas oleh pengamat Intelijen dan Keamanan UI, Stanislaus Riyanta saat diwawancara di acara Mata Najwa Rabu (13/11/2019).
Stanislaus Riyanta menganggap teror yang dilakukan pelaku tak jauh juga dari ideologi ISIS.
Para pelaku mengincar polisi yang dianggap sebagai musuhnya.
"Ini memang fenomena yang dilakukan ISIS menganggap bahwa musuhnya adalah polisi," ujarnya.
Stanislaus Riyanta menyebut bahwa gerakan ISIS berbeda dengan Al-Qaeda yang menyerang Amerika.
"Ini berbeda dengan kelompok yang sebelumnya, Al-Qaeda yang menyerang simbol-simbol Amerika seperti jw marriott, ritz carlton, nah ini berbeda, ini ciri khas ISIS," ujarnya.
Stanislaus Riyanta membeberkan bahwa aksi-aksi teroris ini sudah diprediksi akan terjadi pasca kematian Abu Bakar al-Baghdadi.
Sehingga menurutnya, pengikut ISIS melakukan aksi balas dendam.
"Kenapa ini terjadi, ini sudah diprediksi, pasca kematian pemimpin ISIS yakni Abu Bakar Al-Baghdadi, memicu balas dendam," ujarnya.
Stanislaus Riyanta lalu menyebutkan bahwa kasus penusukan Wiranto juga dilakukan oleh orang-orang yang terpapar ISIS dan melakukan aksi balas dendam.
"Kita lihat kasus Pak Wiranto, itu dilakukan oleh 2 orang, itu terdesak karena pimpinannya ditangkap di bekasi, lalu dia lari ke arah Pandeglang, dan melakukan aksi kepada Pak Wiranto.
"Bayangkan ketika pemimpin di sana tewas, Abu Bakar Al-Baghdadi, ia melakukan balas dendam," ujarnya.
Terkait dengan sosok pelaku, Stanislaus Riyanta menyebutkan bahwa saat ini belum teridentifikasi.
"Pelakunya memang belum diidentifikasi, pelakunya kelompok apa tunggal, memang belum terindentikasi," ujarnya.
Terkait dengan pelaku, Stanislaus Riyanta menyebutkan bahwa pelaku perorangan lebih berbahaya daripada kelompok.
Menurutnya, jika dilakukan berkelompok, maka percakapan-percakapan mereka melalui ponsel bisa dilacak.
"Masalahnya adalah pelakunya kelompok apa tunggal, ketika melakukan aksi terorisme, itu berbahaya, yang paling berbahaya pelaku tunggal karena ia melakukan sendiri dan tidak bisa teridentifikasi, berbeda dengan kelompok, mereka membangun percakapan dan itu bisa dipantau," ujarnya.
Stanislaus Riyanta menegaskan, bahwa aksi teror lebih berbahaya jika dilakukan satu keluarga.
"Dan yang paling berbahaya pelau teror adalah satu keluarga, itu sudah terjadi di Surabaya, di penusukan Pak Wiranto mereka keluarga, dan ini susah terdeteksi, karena mereka tidak melakukan percayakan via apapun, dan itu di keluarga, itu sangat berbahaya," pungkasnya.(*)