Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.
Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisa budaya.
Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.
Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan Gajang Laleng Dipa.
Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.
Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri merek ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia.
Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis.
Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan.