Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Terlanjur Emosi, Perwira TNI Bawa 30 Ribu Demonstran Kepung Istana Negara, Tak Disangka Massa Langsung Luluh Gara-gara Soekarno Katakan Ini, Ujung-ujungnya Justru KSAD yang Diganti

None - Rabu, 22 Januari 2020 | 18:13
Bung Karno dikepung demonstran yang membawa tank
via Intisari

Bung Karno dikepung demonstran yang membawa tank

Gridhot.ID - Militer tentu saja menjadi kekuatan utama tiap negara.

Selain untuk menyerang, di masa modern ini militer terus diperkuat untuk mempertahankan kedaulatan negara.

Tentu saja kekuatan militer menjadi garda terdepan bagi Indonesia ini.

Baca Juga: Jatuh Tengkurap Seusai Salat Subuh, Lina Diduga Meninggal Karena Dibunuh, Pengacara Para Saksi Ungkap Sebuah Fakta: Sepuluh Jari Kanan Kiri Membiru

Ketika negara mendapat ancaman dari negara lain, militer bertanggung jawab terhadap kedaulatan.

Saat Indonesia mulai berdaulat pada 17 Agustus 1945, bukan sebuah proses mudah untuk membentuk militernya sendiri.

Prosesi pembentukan Tentara Nasional Indonesia begitu panjang, melalui penggabungan beberapa gerakan, laskar, dan organisasi militer, baik buatan Belanda ataupun Jepang.

Baca Juga: Dulu Buat Heboh Karena Dikira Cucu Sultan Malaysia, Bubu Kini Ditinggal Nikah Syahrini Meski Pernah Dapar Restu Orang Tua, Begini Kabarnya Sekarang

Tentunya tiap unsur itu mempunyai latar belakang dan pandangan yang berbeda-beda.

68tahun yang lalu, bertepatan pada 17 Oktober 1952 terdapat peristiwa di Indonesia yang terjadi akibat perbedaan pandangan di internal militer Indonesia.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, campur tangan politik memang menjadikan persepsi militer terpecah menjadi dua.

Baca Juga: Meski Buta dan Tua Renta, Nenek Peramal 85 Tahun Ini Berhasil Terawang dengan Akurat Peristiwa Besar Dunia, Sebut Indonesia dalam Prediksinya akan Dihantam Tsunami Besar Tahun 2020

Ada yang menginginkan rasionalisasi tentara sesuai fungsi. Di sisi lain, ada juga yang menginginkan tentara tetap memainkan fungsi ganda, dalam hal ini berpolitik, karena mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

Hal ini juga berdampak dengan munculnya tuntutan untuk membubarkan DPRS.

AH Nasution
via Intisari

AH Nasution

Militer berpolitik

Baca Juga: Cabuli 11 Bocah Laki-laki di Bawah Umur, Ketua Komunitas Gay di Tulungagung Di Gelandang Polisi, Iming-imingi Korban Uang Rp 250 Ribu Jika Mau Puaskan Nafsunya

Kondisi politik Indonesia pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 memang belum sepenuhnya stabil. Kabinet yang dibentuk silih berganti karena munculnya berbagai konflik politik.

Kondisi ini diperparah adanya sejumlah pejabat yang melakukan korupsi dan tindakan yang merugikan negara.

Keadaan itu membuat rakyat merasa geram dan menginginkan percepatan pemilihan umum untuk mengganti anggota parlemen.

Baca Juga: Diklaim Kebal dari Lemparan Batu, Kaca Rumah Megah Sule Mendadak Pecah Tanpa Sebab, Budayawan Spiritual Ungkap Ada Sosok Gaib yang Iseng

Ketika itu memang banyak dari anggota militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer, mereka memainkan peran dalam perpolitikan daerah.

Hal inilah yang membuat petinggi TNI saat itu, Abdul Haris Nasution untuk bisa merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.

Ketika masalah itu sedang terjadi, muncul keinginan dari Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal TB Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution untuk mengembalikan tentara sesuai fungsinya.

Baca Juga: Kembali Pancing Konflik, Iran Kirimkan 3 Roket Luluh Lantahkan Kedubes AS di Baghdad, 3 Orang Dikabarkan Tewas dan Puluhan Lainnya Luka-luka

Kondisi itu mendapat respons tak baik dari pihak Kolonel Bambang Supeno. Dia tak sependapat dengan AH Nasution. Bambang Supeno bahkan menganggap kinerja AH Nasution tak baik.

Akhirnya, Supeno mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tak puas dengan kepemimpinan AH Nasution.

Internal militer pun terpecah dan membawa masalah ini ke parlemen. DPRS ikut andil dalam masalah itu. DPRS membuat beberapa mosi menyikapi masalah yang terjadi di internal TNI.

Baca Juga: Dulu Dicap Tabu Karena Pacari Muridnya Sendiri di Bangku SMP, Pasangan Guru dan Siswi yang Pernah Viral Ini Kini Hidup Bahagia Usai 7 Tahun Pacaran, Ini Rahasia Mereka Bisa Tetap Saling Setia

Kemunculan mosi ini yang menjadi sebuah persoalan karena dinilai terlalu intervensi terhadap masalah TNI. AH Nasution meluapkan ketidakpuasannya terhadap apa yang dilakukan parlemen.

Demonstran
via Intisari

Demonstran

Pada 17 Oktober 1952, para perwira militer bersama 30.000 demonstran melakukan unjuk rasa menuju Istana Merdeka.

Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan menuju ke Istana Merdeka.

Baca Juga: Kena Karma Usai Nyelonong Masuk Natuna, China Kini Mencak-mencak Lantaran Kapal Perang AS Berlayar di Selat Taiwan, Nyali Militernya Ciut Tak Berani Balik Menghadang

Namun, ini bukan untuk melakukan perlawanan, tetapi mereka hanya meminta parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.

Meski begitu, Soekarno menilai tindakan ini merupakan makar karena menggunakan peralatan militer. Akhirnya, Presiden menemui demonstran.

Menurut Soekarno, parlemen tak begitu saja bisa dibubarkan karena dirinya bukanlah diktator yang bebas melakukan apa saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu.

Baca Juga: Demi Laris Jualan HP, Pria Asal Probolinggo Ini Nekat Bawa Nama Jokowi Hingga Marzuki Ali, Nasibnya Kini Justru Sengsara Sendiri

Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu. Demonstran sekejap luluh mendengar penyataan dari Soekarno dan segera membubarkan diri.

Setelah peristiwa itu, Soekarno menemui delegasi militer yang datang. Imbasnya, AH Nasution yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti.

Namun, setelah dipecat AH Nasution malah aktif menulis. Salah satu karya yang dihasilkan adalah Pokok-pokok Perang Gerilya.

Baca Juga: Ungkap Fakta Baru Soal Kematian Lina, Pengacara Para Saksi yang Mandikan Jenazah Sebut Dapati 10 Jari Membiru di Tubuh Mantan Istri Sule, Benarkan Ada Dugaan Pembunuhan Berencana?

Buku Nasution
via Intisari

Buku Nasution

Menurut Harian Kompas, ini merupakan buku teks tentang seluk beluk perang gerilya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bahkan buku itu menjadi bahan pelajaran di Akademi Militer West Point AS.

Perselisihan di kalangan militer, terutama TNI Angkatan Darat sendiri dianggap selesai setelah disepakatinya Piagam Keutuhan AD, sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.

Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul 66 Tahun Lalu, AH Nasution Kepung Istana dengan Tank dan Meriam, Tapi Bung Karno Malah 'Cuek' Menghadapinya.

(*)

Source : intisari online

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x