Begitu populernya nama Komaruddin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komaruddin.
Sebelum bergabung dengan Soeharto, usai dari PETA, Komaruddin memang pernah bergabung dengan Lasykar Hizboellah setempat.
Banyak kawan-kawannya mengenal Komaruddin sebagai sosok yang jenaka, selon, pemberani namun sedikit agak sentimentil jika disentuh sisi-sisi kemanusiannya.
Salah satu contoh, saat Panglima Besar Soedirman (dalam suatu pemeriksaan pasukan usai turun gunung) menasehati, mengkritik sekaligus memuji serangan 'salah lihat kalender"nya pada 28 Februari 1949, ia langsung terisak-isak menangis sambil terbata-bata berujar: "Siap Panglima! Saya tak akan mengulanginya!"
Peleton yang dipimpin Letnan Komaruddin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta.
Begitu disegani namanya hingga pihak intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan.
Menurut sejarawan militer Moehkardi, konon penyerangan militer Belanda ke dukuh Plataran pada 24 Februari 1949 ( yang menimbulkan korban tewas beberapa kadet Akademi Militer Yogyakarta) adalah salah satunya dalam rangka mencari dirinya, yang memang saat itu ia sedang berada di dekat dukuh tersebut.
Lantas bagaimana nasib Komaruddin seusai Memang jarang sumber-sumber sejarah yang memberitakan keberadaannya pasca penyerahan kedaulatan.
Kecuali satu sumber dalam buku 'Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi' Yogya oleh Daud Sinjal.
Di situ dituliskan tentang, tuduhan sebagian kalangan militer kala itu yang menyebut dia terlibat dalam gerakan DI/TII.