Dalam berbagai kesempatan, ia sering mendampingi gurunya Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan.
Mulai dari sekadar berbincang santai, hingga urusan mencari tabir, menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke Al Anwar, dan dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.
Pada suatu ketika Gus Baha dipanggil untuk mencarikan tabir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina, karena saking cepatnya tabir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu, “Iyo Ha’, koe pancen cerdas tenan.” (Iya Ha, kamu memang benar-benar cerdas).
Selain itu Gus Baha juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawaidzah di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal.
“Santri tenan iku yo koyo Baha iku,” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha itu) kurang lebih seperti itulah ucapan Syaikhina yang riwayatnya sampai ke penulis Ma'had Aly Jakarta.
Dalam riwayat pendidikan, semenjak kecil hingga mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, Gus Baha hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di Desa Narukan dan PP Al Anwar Karangmangu.
Ketika sang ayah menawarkan kepadanya untuk mondok di Rushaifah atau Yaman, Gus Baha lebih memilih untuk tetap di Indonesia.
Ia berkhidmat kepada almamater, Madrasah Ghozaliyah Syafiiyyah PP Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.
Kepribadian
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, Gus Baha menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.