Gridhot.ID- Ungkapan Gusti Mboten Sare atau yang berarti Tuhan Tidak Tidur, sering kita dengar di kehidupan sehari-hari.
Gusti mboten sare adalah falsafah Jawa yang berarti Tuhan tidak pernah tidur dan mengetahui segala hal yang terjadi di dunia ini.
Agaknya ungkapan tersebut cocok digunakan untuk menggambarkan pengalaman tak terduga seorang perantau asal Solo di Jakarta berikut ini.
Maulana Arif Budi Satrio adalah seorang sopir bus pariwisata asal Kecamatan Sudiroprajan, Kota Solo.
Ia nekat pulang kampung dengan berjalan kaki dari Cibubur, Jakarta Timur selama pandemi Corona ini.
Hal itu dilakukannya setelah ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempatnya bekerja.
Adapun ia memahami keputusan yang diambil perusahaannya untuk mem-PHK para tenaga kerjanya di tengah pandemi Corona.
Apalagi, pandemi Corona saat ini telah menghantam berbagai sektor, termasuk pariwisata.
"Tanggal 8 Mei 2020, diumumkan semuanya harus diberhentikan di-PHK, semua diberhentikan dan kemudian saat itu belum ada gaji, THR, yang dijanjikan juga tidak dapat," tutur Satrio, Senin (18/5/2020).
Tanpa pikir panjang, Satrio pun memutuskan pulang kampung ke kampung halamannya, Solo.
Sejurus dengan itu, ia lalu memutuskan memberikan kontrakan yang waktu sewanya sampai akhir Juni 2020 ke tetangganya.
Itu lantaran tetangganya kena usir lantaran waktu sewanya telah habis, ditambah lagi ia masih mengasuh anak kecil.
"Kontrakan saya berikan ke tetangga depan rumah yang kontrakannya abis dan diusir, saya kasihan sama dia karena dia punya anak kecil," ucap Satrio.
Satrio kemudian mencoba pulang menggunakan moda transportasi bus dengan merogoh kocek senila Rp 500 ribu.
Sayang seribu sayang, moda transportasi yang datang tak sesuai harapannya.
"Dalam pikiran saya itu mau naik bus, tiketnya Rp 500 ribu, tapi yang datang Elf, bukan bus, terus saya tidak mau," kata dia.
Satrio pun tak patah arang, ia tetap memutar otak dan memutuskan menggunakan kendaraan pribadi.
Sekira tanggal 10 Mei 2020, ia berangkat namun nasibnya tak mujur lantaran sesampainya di kawasan Cikarang, Jawa Barat.
"Saya putus asa dan berantem di tol Cikarang katanya suruh balik, makanya, kalau saya tetap tinggal di Jakarta, saya hanya bertahan lima hari," ucap Satrio.
"Uang sisa sekitar Rp 400 ribu, itu sisa uang bulanan lalu, makanya saya langsung pulang dengan jalan kaki, subuh saya berangkat," tambahnya.
Satrio hanya bisa membawa dua tas sebagai bekalnya berjalan kaki dari Cibubur.
Dengan mengenakan celana pendek yang dipadukan kaos dan penutup wajah, ia membulatkan tekat berjalan kaki menempuh perjalanan pulang kampung melalui jalur pantura.
"Rata-rata berjalan 12 sampai 14 jam per hari, rata-rata menempuh 100 kilometer per hari," kata Satrio.
"Pokoknya kalau capek istirahat, Cibubur berhenti di Cikarang, Tanjung Pura Karawang dan berhenti di Klari," papar dia.
"Saya memutuskan jalan kaki karena Allah memberikan dua kaki, saya niatkan untuk pulang dengan berjalan kaki," tambahnya.
Satrio mengaku berjalan kaki sekuat tenaga dan tetap menjalankan ibadah puasa.
"Di sepanjang perjalanan antara Karawang hingga Tegal itu panasnya minta ampun, tetapi setelah memasuki Brebes dan Pekalongan cuaca mulai agak adem," tutur dia.
"Saking lamanya berjalan di bawah terik matahari, kulit saya sampai kayak terbakar, sedangkan kalau malam saya istirahatnya kadang numpang tidur di SPBU maupun warung-warung tempat pemberhentian truk," imbuhnya.
Langkah kakinya harus terhenti di kawasan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Itu lantaran aksi nekatnya berjalan kaki untuk pulang kampung kepergok sejawatnya di Persatuan Pengemudi Pariwisata Indonesia (Peparindo).
Aksinya kepergok setelah dirinya menempuh perjalanan kurang lebih 401 kilometer.
"Di Gringsing langsung dijemput teman-teman Peparindo, dan saya dimarah-marahin sama Ketuanya di Jakarta karena tidak bilang," tutur Satrio.
"Kalau saya ngomong pasti saya gagal pulang karen akan dibantu oleh temen-temen Peparindo di Jakarta," tambahnya.
Satrio diajak ke Kantor Sekretariat Peparindo Jawa Tengah di Ungaran oleh rekan sejawatnya pada tanggal 14 Mei 2020.
Ia pun tidak diperbolehkan jalan kaki lagi untuk meneruskan perjalananya hingga ke kota tujuan, Solo.
"Saat di Semarang itu sebenarnya saya ingin bertemu Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar untuk menyampaikan warga kita di Jakarta yang nasibnya sangat kasihan," kata dia.
"Ditambah lagi nasib travel-travel dari Jawa Tengah yang ditahan di Polda Metro Jaya," imbuhnya.
Satrio kemudian diantar sejawatnya sampai ke Solo, namun ia tetap harus menjalankan karantina selama 14 hari di Grha Wisata Solo.
Itu terhitung sejak ia menginjakkan kaki di Kota Bengawan sekira 15 Mei 2020 pukul 08.00 WIB.
"Awalnya sempat takut juga karena embel-embel nama karantina, tapi ternyata malah di sini nyaman dan penuh rasa kekeluargaan," tutur dia.
"Kami di sini bener-bener dihargai, makan enak dan ada hiburan juga," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunsolo.com dengan judul Kisah Sopir Bus Jadi Korban PHK, Nekat Pulang Jalan Kaki Ratusan Kilometer dari Cibubur ke Solo