Namun demikian, penumpukan utang tersebut dinilai tidak terlalu bermasalah. Pasalnya, untuk membiayai utang tersebut pemerintah Jepang melakukan penerbitan surat utang yang disebut dengan JGB (Japanese Government Bond).
Bank sentral setempat pun membeli surat utang tersebut dalam volume yang besar. Pasalnya, meski bank sentral merupakan lembaga independen dalam praktiknya erat mengoordinasikan kebijakan ekonomi dengan pemerintah.
Dalam upaya untuk mendukung perekonomian di tengah pandemi, BoJ pun menghapus plafon yang diberlakukan untuk membeli JGB. Dengan demikian, bank sentral memiliki daya beli tanpa batas. Saat ini, BoJ memegang lebih dari semua surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah setempat.
Dengan demikian, BoJ menjaga harga JGB di pasar surat utang seklaligus menjaga agar imbal hasil obligasi pemerintah tetap rendah.
Artinya, pada dasarnya dalam mengelola keuangan di tengah pandemi pemerintah Jepang didanai oleh bank sentral dengan tingkat bunga yang sangat rendah (atau bahkan negatif). Hal tersebut membuat pembiayaan pemerintah bisa lebih berkelanjutan.
"Kondisi tingkat sangat rendah yang diciptakan oleh kebijakan moneter yang sangat akomodatif oleh BoJ dapat menjadi salah satu alasan bahwa gunungan utang Jepang tak terlalu bermasalah dibandingkan dengan negara-negara dengan utang yang tinggi di seluruh dunia," kata ekonom Nomura Bank Takashi Miwa.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Utang Jepang Tembus Rp 170.800 Triliun, Kok Bisa?"
(*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Siti Nur Qasanah |
Komentar