Sementara, secara resmi pemerintah Lebanon belum mengeluarkan pernyataan sama sekali terkait tawaran bantuan dari pemerintahan lawan perangnya itu.
Namun, tertuang dalam UU Lebanon 1955 yang menyebutkan, melarang warga negara memiliki hubungan bisnsis atau komersial apa pun dengan Israel.
Kemudian, ada pasal 278 KUHP yang menetapkan bahwa menjaga kontak dengan negara Yahudi itu ilegal dan melarang interaksi dnegan orang Israel.
Dengan landasan hukum tertulis itu juga, Kleit berpendapat bahwa menerima bantuan dari "negara musuh" tidak mungkin dilakukan, terutama mengingat fakta bahwa negara-negara lain, termasuk Iran, Turki, dan sejumlah negara Barat, telah menyatakan niat mereka untuk membantu.
"Pada dasarnya tidak mungkin untuk menjembatani apa pun antara kedua negara, mengingat ada partai politik yang berpengaruh di pemerintahan dan parlemen (negara) yang menentang segala jenis hubungan dengan Israel, bahkan pada saat krisis (seperti yang kita lihat sekarang," ujar Kleit.
Lebih lanjut, Kleit menjelaskan "para pemain berpengaruh di Lebanon, di antaranya Hezbollah, milisi Syiah yang didukung oleh Iran untuk memasuki arena politik Lebanon pada 1990, dan telah menjadi bagian dari parlemen negara sejak 2005.
Bersama dengan partai-partai agama lainnya, Hezbollah sekarang membentuk blok terbesar di parlemen Lebanon dan "mengambil keputusan" untuk urusan dalam negeri dan luar negeri.
Itu berarti bahwa pemulihan hubungan dengan Israel tidak mungkin terjadi, terutama karena sejarah berdarah yang menyelimuti keduanya.
Pada 1982, Hezbollah telah memimpin perjuangan militer di tanah Lebanon, saat Israel melancarkan perang melawan Lebanon dalam upaya untuk meminimalkan pengaruh Suriah di daerah Lebanon, dan menjaga para pejuang Palestina yang mengungsi di tanah Lebanon karena disudutkan negara Yahudi.
Perjuangan pasukan militan Hezbollah akhirnya mendorong pasukan pertahanan Israel (IDF) keluar dari Lebanon, negara yang dilanda perang pada Mei 2000.