“Ini adalah tanah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir satu abad, oleh kakek saya, ayah saya dan saya sendiri. Saya ingin terus tinggal di sini dan bertani,” kata Shito kepada AFP, beberapa tahun lalu.
Ayah Takao, Toichi, adalah salah satu petani yang dengan gigih menolak rencana pemerintah untuk memperluas Bandara Narita sejak dekade 1970-an.
Baca Juga: 4 Tahun Bercerai, Syahrul Gunawan Mendadak Unggah Soal Mempelai Wanita: Mantannya Mah, Musam-mesem!
Sebagian besar petani lain di daerah itu telah diyakinkan untuk menjual tanah mereka dengan uang yang cukup banyak, tetapi Toichi Shito tidak mau mengalah hanya demi uang.
Keyakinannya yang gigih menular ke anaknya, Takao, yang saat itu masih kecil.
Bahkan ketika Toichi meninggal pada usia 84 tahun, Takao berhenti dari pekerjaannya di bisnis restoran dan kembali ke pertanian keluarga untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.
Kehidupannya juga tidak mudah. Takao terus-menerus terlibat dalam perselisihan hukum untuk menghentikan pihak berwenang secara paksa mengusirnya dari tanahnya.
Tentu saja itu melelahkan, begitu juga dengan bertani itu sendiri. Tapi dia tidak berniat untuk mundur sejengkal pun.
Perjuangannya telah menjadi simbol hak-hak sipil. Ratusan sukarelawan dan aktivis bersatu mendukungnya selama bertahun-tahun.
Takao menyatakan dia pernah diiming-imingi uang tunai yang sangat besar dengan catatan dia harus meninggalkan tanahnya tersebut.
“Mereka menawari saya 180 juta yen (1,7 dollar AS atau Rp 25 miliar). Itu setara dengan gaji seorang petani selama 150 tahun. Saya tidak tertarik dengan uang, saya ingin terus bertani. Saya tidak pernah berpikir untuk pergi," kata dia kepada BBC.