Hanya dalam waktu 7 bulan sejak awal tahun, kebijakan itu telah membuat setengah juta orang dilatih sebagai bagian dari proyek, angka itu sekitar 15 persen dari populasi wilayah Tibet.
Dari total itu, sebanyak hampir 50.000 pekerja dipekerjakan di dalam wilayah Tibet, sementara ribuan orang lainnya dikirim ke bagian lain di China.
Banyak dari mereka yang berakhir dengan gaji rendah, termasuk mereka yang bekerja di bidang produksi tekstil, konstruksi dan pertanian.
Skema kebijakan ini mencakup semua orang Tibet dari segala usia, mencakup seluruh wilayah dan program ini berbeda dari pelatihan kejuruan koersif pelajar menengah dan orang dewasa muda yang dilaporkan oleh narasumber Tibet di pengasingan.
Penelitian juga mengatakan bahwa kamp pekerja paksa itu dilengkapi dengan indoktrinasi yang dipaksakan, pengawasan, dan sanksi berat bagi yang gagal memenuhi kuota pengiriman tenaga kerja.
Melansir Reuters, Beijing telah menetapkan kuota untuk pemindahan massal pekerja dari pedesaan Tibet dan untuk ke berbagai wilayah lain di China sebagai inisiatif untuk menyediakan pekerja setia kepada industri China.
"Saat ini, menurut pendapat saya, (kerja paksa itu merupakan) serangan paling kuat, paling jelas dan paling terarah terhadap mata pencarian rakyat Tibet yang kita saksikan sejak Revolusi Kebudayaan tahun 1966 sampai 1976," ujar Dr Adrian Zenz dikutip Reuters.
Dr Zenz adalah seorang antropolog, peneliti Tibet dan Xinjiang independen yang menyusun temuan inti program kerja paksa itu dan merilisnya di Jamestown Foundation.
"Ini adalah perubahan gaya hidup yang memaksa dari nomadisme dan bertani menjadi buruh upahan," imbuh Zenz.
Menurut Reuters, pihak Kementerian Luar Negeri China membantah keras adanya laporan soal kerja paksa itu.