Juga terkait Kissinger yang menyinggung tentang penggunaan senjata buatan AS, lalu menekankan bahwa mereka hanya dapat mempengaruhi reaksi atas operasi tersebut jika itu terjadi setelah mereka kembali ke AS.
“Kissinger: Anda menghargai bahwa penggunaan senjata buatan AS dapat menimbulkan masalah. Itu tergantung pada bagaimana kita menafsirkannya, apakah itu untuk membela diri atau apakah itu operasi asing. Penting agar apa pun yang Anda lakukan berhasil dengan cepat.
"Kami akan dapat mempengaruhi reaksi di Amerika jika apapun yang terjadi, (baru) terjadi setelah kami kembali. "
Pernyataan Kissinger memperjelas bahwa dia dan Ford tidak menentang penggunaan senjata AS.
Kekhawatiran mereka hanyalah agar serangan itu ditunda sampai mereka meninggalkan Indonesia dan dilakukan secepat dan seefektif mungkin. Mereka melakukan manipulasi opini publik di AS.
Dokumen 5, tanggal 5 dan 6 Desember, memberikan jadwal dua hari Kissinger di Indonesia.
Ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, namun tidak ada catatan pertemuan itu yang ditemukan.
Setelah invasi, pemerintahan Ford seolah-olah menunda penjualan senjata baru ke Indonesia, menunggu tinjauan Departemen Luar Negeri selama enam bulan.
Dalam catatan pengarahan mereka, William Burr dan Michael L.Evans dari Arsip Keamanan Nasional, mendokumentasikan bagaimana peralatan militer yang sudah ada dalam pipa terus mengalir ke Suharto selama peninjauan, dan AS membuat empat penawaran baru untuk peralatan militer.
Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa sejak Juli 1975, Ford telah memberikan sinyal yang cukup jelas kepada Soeharto bahwa jika rezim Indonesia mencaplok Timor Leste, Washington akan berdiri di samping sekutunya, yang paling berharga di Asia Tenggara.